Monday, November 1, 2010

DI BAWAH BAYANG-BAYANG BULAN, Gus Noy


Judul Buku: Di Bawah Bayang-Bayang Bulan
Jenis: Kumpulan Cerpen
Pengarang: Gus Noy (Agustinus Wahyono)
Penerbit: Abadi Karya
Terbit Pertama: Maret 2011
Tebal:

===================


BANGKA, KEJUTAN DAN CINTA


Resensi: Yonathan Rahardjo


Pembacaan cerpen-cerpen dalam Kumcer ‘Di Bawah Bayang-Bayang Bulan’ karya Gus Noy (Agustinus Wahyono) ini dilakukan penulis secara acak. Beberapa kesan kuat pun penulis dapatkan dan coba klasifikasikan berdasar denyut pembacaan yang timbul.
Cerpen ‘Mengapa Mereka Suka Menggodaku’ mengisahkan televisi yang hilang oleh karena ‘aku’ yang suka jumpa para artis televisi. ‘Aku’ ternyata pasien rumah sakit jiwa, yang harus dioperasi untuk untuk mengeluarkan televisi yang hilang itu dari otaknya. Kisah yang berakhir mengejutkan, mencipta surealisme cerita. Tentang bayang-bayang artis-artis yang muncul dan ditemui ‘aku’ dalam sehari-hari hidup yang menyebabkannya dirawat di rumah sakit jiwa, dapat dimengerti terkait adanya orang sakit jiwa yang berperilaku penuh halusinasi. Namun mengeluarkan televisi dari otak, merupakan kejutan yang brilian!
Dalam cerpen ‘Di Bawah Bayang-Bayang Bulan’ diceritakan bulan ingin cahayanya menjangkau jalan, namun tertutup pepohonan. Cita-cita bulan kesampaian hanya ketika kecelakaan kendaraan pasangan suami istri mengoyak keberadaan pohon dan dedaunannya. Sebuah cerita yang tragis dan mendebarkan, penuh imaji dimulai dari pertengkaran bulan dengan pepohonan. Semakin dramatis dengan kebahagiaan bulan yang cahayanya dapat bergelimang darah korban di jalan yang semula tertutup oleh rimbun dedaunan pepohonan.
Cerita ‘Gadis yang Duduk di Kursi Itu’ mencipta misteri penglihatan seorang pemuda pegiat sastra terhadap sosol gadis yang selalu duduk di kursi menontonnya beraksi dalam malam sastra yang semua pesertanya lesehan di bawah. Ternyata gadis duduk di kursi itu sebetulnya tidak pernah ada. Seperti cerita hantu, ada cekaman dari misterinya.
Tiga cerpen Agustinus Wahyono itu memberi tanda bahwa penulis cerpen ini selalu menggunakan efek kejutan di akhir ceritanya. Bulan yang dapat menerobos dedaunan untuk mencahayai darah tergenang di jalan, gadis duduk di kursi yang sebetulnya ‘hantu’, dan televisi yang hilang ternyata ditemukan di ‘otak’.
Kejutan-kejutan di akhir cerita juga ditunjukkan dalam cerpen-cerpen lain. Dalam ‘Genderang Perang Ditabuh’, kejutan tampak ingin ditampilkan Agustinus dari pertanyaan yang dijawab pernyataan, tentang arti ‘mantra’ atau ‘slogan’ yang digunakan dalam peperangan. Daripada mempersoalkan arti kata-kata mantra atau slogan ini lebih baik memfokuskan diri pada peperangan itu sendiri yang dituliskan secara lancar dan lincah oleh Agustinus dengan penuh penggambaran yang semarak dan gegap gempita yang menjadikan perang langit itu seperti suasana di pasar malam yang begitu ramai dan penuh warna lampu.
Cerpen ‘Kemarau pun Singgah di Kampung Kami’ memberi efek kejutan pada kematian paman Saroji (banyak ‘aku’ dalam cerita Agustinus dalam Kumcer ini memakai nama ini) yang ternyata buron polisi dalam kasus illegal logging, setelah semula paman ini sangat aktif dan kreatif dalam segala sesuatu berbau bisnis yang tidak menunjukkan gejala penceritaan sebagai pelaku penebangan liar hutan.
Cerpen ‘Bisikan Angin Laut’ memberi kejutan tentang wartawan yang diburu preman, karena berita yang ditulisnya soal penyelundupan hasil tambang di pelabuhan, dan ‘aku’ sebagai temanya pun menanggung getahnya.
Kejutan yang coba ditampilkan dalam ‘Surat Cintamu’ adalah ketika gadis yang diintip ‘aku’ tiba-tiba memberikan surat cinta beramplop dengan menjulurkan kepala lewat jendela dekat dengan ‘aku’ mengintip proses penulisan surat cinta itu dalam suatu narasi yang mendebarkan pembaca. Kejutan ini tidak terdapat pada akhir cerita yang justru menurun klimaksnya dengan perbincangan batin ‘aku’ tentang ‘kekasih’nya yang berbeda latar belakang pendidikannya dan kuli, yang sudah tergambarkan di awal cerita. Kejutan yang dicipta bukan kejutan pada keseluruhan cerita, tapi kejutan pada adegan.
Cerpen ‘Datuk Penjinak Jalan’ memberi kejutan dengan satu kata, “Dor!” Matilah raja balap sepeda motor jalanan, yang diceritakan secara menakjubkan oleh Agustinus dengan penguasaan dunia pembalap jalanan, mengalir, menyeret mata pembaca untuk terus mengikuti jalan cerita dan tingginya keingintahuan tentang akhir cerita. Akhir ini sungguh tak terduga, lawan adu balap yang diharap memberi perlawanan sesuai cerita dunia balap malah hanya melakukan pembunuhan. Terhadap akhir cerita yang demikian, bisa jadi pembaca tak rela karenanya, yang justru memberi misteri hidup pada cerita ini.
Cerpen ‘Segores Malam Bersamanya’ memaksa memberi kejutan dengan kata-kata verbal, “Astaga, Lia! Betapa aku terkejut saat kamu merangkul pundakku”. Kejutan ini muncul setelah si ‘aku’ merasa putus asa terhadap hubungan mereka yang terbatas oleh karena kesibukan Lia yang dikasihinya dan belum jelasnya langkah bersama mereka. Ada hiburan di sini tentang harapan-harapan aku. Hanya saja kejutan ini kurang klimaks terasa, meski cukup terasakan oleh pembaca.
Kejutan yang ditampilkan oleh Agustinus Wahyono dalam ‘Anak Ayam’ adalah pernyataan cita-cita Endah di depan kelas, “Saya ingin menjadi anak ayam!” Sebelumnya dari awal sampai pernyataan itu, penulis cerpen ini telah dengan lincah dan mengalir menulis semua proses pendekatan dan kedekatan Endah dengan anak ayam piaraan ayahnya.
Cerpen ‘Danau Darah’ diberi kejutan oleh Agustinus Wahyono melalui penglihatan-penglihatan yang dialami oleh ‘aku’ hingga foto di koran yang berdarah, dan puncaknya halaman luar bandara adalah danau darah. Upaya penghalusinasian ‘aku’ atau peng-surealisme-annya oleh pengarang begitu terasa. Beberapa cerpen Agustinus memang punya ciri ini seperti yang diurai dalam cerpen-cerpen di atas. Kejutan danau darah sebagai korban penambangan jelas terasa dakiannya yang dimulai dari penglihatan aku dari dalam pesawat melihat ke bawah (daratan).
Dua kejutan dalam cerpen ‘Penerbangan Dini’ adalah kepulangan Yongki dari Jakarta untuk membangun bisnis di Bangka, kota kelahirannya. Dia ingin mati juga di Bangka. Kejutan kedua adalah kematian Yongki begitu cepat, terserang malaria dan susah nafasnya kambuh. Si ‘aku’ masih sibuk dengan skripsi di Kota Yogyakarta, mendapat kabar mengejutkan tentang nasib teman masa kecilnya yang anak orang kaya yang pada waktu kecil bercita-cita jadi penerbang naik pesawat menembus awan.
Dalam ‘Merahnya Malam’, Agustinus ingin memberi kejutan bahwa teraniayanya Juki adalah akibat pembacokan salah sasar pada pertikaian dua kelompok partai. Meski agaknya, kejutan ini kurang terasa, mungkin karena memang Agustinus tidak ingin benar-benar memberi kejutan tapi cukup menceritakan kejadian yang dialami lakon-lakonnya.
Tegasnya, berdasar kadar kuatnya kejutan yang berbeda-beda, cerita-cerita Agustinus Wahyono punya kecenderungan sama: ingin memberi kejutan (kebanyakan di akhir cerita) dengan berbagai metode: ucapan, adegan, suasana, perasaan atau pendapat si tokoh, misteri, surealisme kenyataan, kabalikan nasib, yang semua diharapkan tak terduga oleh pembaca.
Di sisi cara bercerita, narasi yang ditulis secara lincah dengan bahasa segar dan diksi-diksi yang kaya, pendalaman dan penguasaan materi yang dibutuhkan dalam cerita konteks, setting yang dapat diraba ada pada 3 (tiga) tempat (Bangka, Yogyakarta, Jakarta), kekayaan setting di Bangka yang paling kuat dan kaya dalam penggambaran dan memberi sumbangan latar lokal pada dunia sastra, imaji-imaji realis dan sedikit surealis: semua merupakan bukti keberadaannya Agustinus dalam dunia cerpen, setidaknya di media-media yang memuatnya yang secara terbanyak jelas mendudukkan sumbangannya adalah memperkaya bacaan sastra tentang salah satu kehidupan di Sumatera (Pulau Bangka), bagus untuk orang luar Sumatera untuk mengenalnya secara lebih jauh (penambangan, pembalakan hutan, kerinduan tanah asal, kehidupan kota di bagian Sumatera yang tenang namun terasa degub hidupnya, warna hidup sehari-hari).
Dan tak kalah seru, pengayaan tentang: cinta, yang menembus batas waktu dan ruang. *

No comments:

Post a Comment