Monday, December 3, 2012

WAYANG URIP, Yonathan Rahardjo


Data Buku
Judul Buku: WAYANG URIP
Penulis: Yonathan Rahardjo
Editor: Rasjid Hariyanto
Ilustrator Sampul: Yonathan Rahardjo
Tatak Letak: Erfan Effendi
Cetakan I: Agustus 2012
Ukuran: 20x13 cm
Tebal: x + 155 hlm
ISBN: 978-602-18932-2-7
Penerbit: Gus Ris Foundation

Harga: Rp 50.000 (sudah termasuk ongkos kirim)

Kontak:

Gus Ris Foundation, Jl Veteran 99 Bojonegoro Telp 0353-3410044, Email
gusrisfoundation@...

Yonathan Rahardjo, HP: 08159306584

===========================

Keterangan Sampul depan:

"Semua karyanya hadir dari refleksi yang terjadi." (Jawa Pos)

Keterangan Sampul Belakang:

"...Folklor yang dominan muncul (...) adalah folklor Jawa, maka penting pula
untuk memahami orang Jawa dan budayanya. (...) Apabila ditempatkan dalam konteks
sosial-budaya kontemporer (...) berupaya mengritik nalar masyarakat yang masih
berdasar pada logika folklor yang mitologis dan kebenaran yang dicapai bukan
melalui abstraksi rasional tetapi melalui pengalaman dan spekulasi."

Demikian salah satu bahasan Tesis yang membahas Novel Lanang Pemenang Lomba
Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 karya Yonathan Rahardjo yang menulis Novel
Bahasa Jawa "WAYANG URIP" ini.

Tesis yang membahas novel Yonathan Rahardjo berjudul "Sikap Terhadap Sains dan
Folklor Tradisional dalam Novel-Novel Fiksi Sains Kontemporer Indonesia" oleh
Sandya Maulana yang memperoleh gelar Magister Humaniora di Program Pascasarjana
Program Studi Ilmu-ilmu Sastra Universitas Padjajaran Bandung ini dibimbing oleh
Sapardi Djoko Damono, Guru besar sastra dan sastrawan terkemuka Indonesia yang
juga menulis sastra Jawa.

Bagaimana kebenaran pernyataan tesis tersebut dalam hal orang Jawa dan bahasa
serta budaya Jawa yang dipersembahkan oleh Yonathan Rahardjo dalam novel
berbahasa Jawa "WAYANG URIP" ini? Dengan membaca novel ini Anda akan dibuat
terkesima dan mendapatkan faedah tiada terkira.

Monday, July 30, 2012

LAN, Stebby Julionatan



Judul Buku: Lan
Jenis: Novel
Penulis: Stebby Julionatan
Penerbit: Bayumedia Publishing
Cetakan pertama: Januari 2011
Tebal: 202 + viii halaman
Ukuran: 12,5 x 19 cm
__________

Resensi Buku


MEMBURU (WAJAH) EKSISTENSI dan REINKARNASI

Oleh: Yonathan Rahardjo


Kata kunci untuk Novel Lan karya Stebby Julionatan adalah cinta, eksistensi, kematian, dan reinkarnasi. Dalam novel ini remaja tanggung Erlan merasa bahwa cintanya kepada Maria adalah sebuah reinkarnasi, yang mana pencarian eksistensi makna cinta dan hidup mereka ujung-ujungnya juga butuh kematian dan reinkarnasi kembali.
Pada bab-bab awal Novel Lan, Erlan sebagai tokoh utama yang cinta malu-malu kucing kepada Maria –yang sebaliknya cinta dengan lebih berani oleh karena budaya  berbeda– diceritakan beberapa fragmen kisah hidupnya. Fragmen itu antara lain pertemuan Lan dengan Maria, kegiatan di sekolah, kedekatannya dengan Galih, kerjanya di Om Jaya, dan tentu saja mimpi-mimpinya.
Erlan punya kisah kocak mimpi basah dan mimpi bercinta dengan teman yang tidak diinginkan, diceritakan oleh Stebby Julionatan dengan ketrampilan menulisnya. Munculnya benih cinta kepada Maria pun akhirnya membawa Erlan menyatakan tentang mimpi-mimpinya bersama Maria. Erlan yang melihat dirinya dan Maria dalam mimpi-mimpinya sebagai tokoh-tokoh dari berbagai jaman yang mengalami tragedi cinta ala Romeo dan Juliet, dengan problem-problem dan latar-latar berbeda sesuai jaman masing-masing, menyadari hal ini sebagai reinkarnasi demi reinkarnasi diri mereka.
Mimpi-mimpi –dan ’mimpi sadar’– itu diceritakan sebagai cerita mandiri dalam tujuh (7) bab. Mimpi memang misteri, tapi apa dalam kenyataan ada mimpi serinci itu sehingga merupakan bagian misteri dari mimpi? Agaknya selanjutnya mimpi-mimpi dalam 7 bab itu sudah diterjemahkan dan dilengkapi sana-sini dengan penanggalan informasi, catatan sejarah, selengkap dalam bab-bab ini laksana ensiklopedia umum.
Pengisahan mimpi-mimpi dalam tujuh bab sendiri itu boleh saja dibilang sebagai satu metode penulisan, pembabakan dan pilihan alur. Tampaknya kecenderungan ini berlaku bagi banyak model penulisan oleh berbagai penulis masa kini. Seolah-olah, ketrampilan menulis dan merangkai jalinan kisah sehingga menjadi satu kesatuan benang merah dengan perwatakan, konflik, debaran dan kejutan, dan terutama ketrampilan menulis dalam satu rangkaian hidup dengan kekinian Erlan tidak perlu lagi atau perlu dicari alternatif kontemporer (yang akhirnya juga ketemu benang merahnya, dengan kekuatan berbeda) semacam itu.
Memang itulah yang dianggap contoh sebagai temuan tulisan kreatif yang melepaskan diri dari belenggu penceritaan klasik yang utuh dan jalin-menjalin. Setelah tujuh bab terpisah-pisah itu, untuk kembali ke kehidupan Erlan masa kini yang punya problem cinta terkait dengan reinkarnasi, rupanya penulisannya minim penggambaran intensitas hubungan dengan Erlan, konflik kejiwaan, konflik konsep reinkarnasi yang sama-sama dirasakan keduanya. Malah cerita berbelok ke masalah keluarga Erlan dan papanya yang suami ibu Galih, sahabatnya yang ternyata saudara satu papa ini.
Kemunculan Maria digantikan dengan kemunculan Lita, gadis yang juga mencintai Erlan seperti Maria, bahkan lebih lama dalam bersahabat. Baru setelah itu Maria muncul dengan pengadeganan yang mendebarkan bahkan sampai terjunnya Maria ke laut disusul Erlan. Di sini muncul kilasan-kilasan kalimat kematian dari tujuh bab mimpi Erlan, pun tidak ada penceritaan secara tertulis sebagaimana lazimnya cerita dengan unsur kalimat dan hubungan antar kalimat secara sempurna. Kilasan-kilasan kalimat kematian muncul ala pointer powerpoint, mengiringi adegan Erlan yang terjun untuk menyelamatkan Maria yang tidak muncul-muncul dari dalam air.
Sebelum ditutup, novel menampilkan adegan dan dialog Erlan dan Galih, yang mana Erlan memaknai cintanya bisa menjadi sempurna hanya dengan kematian yang menjadi pintu masuk ke reinkarnasi demi reinkarnasi sebagaimana yang muncul dalam mimpi-mimpinya. Ada semacam pencarian eksistensi makna kehidupan di sini, bahwa makna kehidupan ini baru sempurna dengan adanya kematian untuk masuk kehidupan berikutnya dengan reinkarnasi baru.
Terkait dengan tema utama ini, hukum-hukum reinkarnasi patut dieksplor lagi baik yang pro maupun kontra. Hal ini untuk menghindari kesan reinkarnasi pada tokoh-tokoh dalam tujuh bab mimpi atau penglihatan saat sadar itu bersifat tempelan yang disama-samakan kasusnya terutama dengan konflik cinta yang dialami Erlan dan Maria yang ”tidak berdarah-darah” sebegaimana konflik pada tokoh-tokoh dalam mimpi-mimpi itu.
Memang bila pengetahuan pembaca cukup tentang konsep reinkarnasi, pembaca dapat berpikir –misalnya– reinkarnasi Erlan dan Maria bisa jadi merupakan proses reinkarnasi dengan konflik yang paling ringan dan “tidak lagi berdarah-darah” sebagai penyucian sisa-sisa karma yang ada untuk menuju kesempurnaan. Namun dalam novel Erlan tidak ada jembatan untuk pemahaman penyucian karma ini.
Tentang reinkarnasi yang kontroversial dalam pandangan berbagai agama pun tidak diceritakan konfliknya secara bernas, padahal begitu banyak comotan pernyataan dan penulisan ulang dengan cara bebas dari berbagai agama termasuk yang anti reinkarnasi. Hal ini pun dapat menjadi contoh banyak peluang dan halaman untuk menuliskan hal-hal yang secara langsung berkelindan dengan masalah utama dalam novel ini, gantinya menuliskan hal-hal yang merupakan bunga pengembangan cerita yang makan banyak halaman.
Sementara kecenderungan untuk menggampangkan penyelesaian konflik cinta –yang lemah– dari Erlan dan Maria mungkin juga terkena oleh penyakit tergesa-gesa sang penulis ingin menunjukkan eksistensinya seperti diakuinya dalam kata pengantar bahwa penerbitan novel ini memang bertujuan menunjukkan eksistensi. Mungkin juga ketergesa-gesaan penerbit yang tidak melakukan koreksi pengetikan huruf penyebab munculnya begitu banyak salah ketik yang mengganggu mata.
Penyakit-penyakit ini mencederai hasil penulisan Stebby yang teknik menulisnya yang cukup cerdas dalam hal-hal pokok berbahasa kreatif dan menunjukkan ketrampilan mengolah kata yang secara efektif mencipta kesan dan suasana yang kadang mendebarkan, konyol dan bikin gemas. Mencederai pula penulisan ulang dengan versi sendiri dari berbagai cerita yang dapat dirasakan dan ditebak terinspirasi dari berbagai berbagai sumber legenda dan sejarah atau cerita dan kutipan-kutipan ayat kitab suci, lagu, kata-kata bijak dan sejenisnya (dengan pengakuan jujur dilambari penulisan memakai huruf miring disertai referensi-referensi).
Pentingnya masukan tersebut juga bermakna supaya tidak terjadi cerita salah jaman. Seperti diceritakan dalam salah satu mimpi Erlan, jaman kemerdekaan kok pejuang TNI melawan VOC –yang sudah bangkrut dan berakhir pada tahun 1799–.
Akhirnya, kata kunci untuk resensi ini, teliti, tidak tergesa-gesa, adon kue novel untuk mendapatkan alternatif novel yang lebih kompak dan hakiki, tidak sekedar tampil secara wajah. Karya kreatif memang butuh dan punya banyak alternatif. Novel Lan sudah menempati porsi salah satu alternatif dan masih banyak model alternatif yang dapat dimunculkan dari berbagai keberagaman potensi.
Bila ingin karya kreatif menjadi master piece, apapun pilihan dari berbagai alternatif itu mesti mampu menggocang pikiran, perasaan dan kehendak. Butuh kemampuan analitik, sintetik dan kritis yang boleh dikata merupakan asumsi metodologi bidang kesusastraan sebagai bagian dari humaniora dan dapat dimiliki melalui proses secara terus-menerus.

Wednesday, May 9, 2012

AIR SEHAT UNTUK TERNAK AYAM, Yonathan Rahardjo



Judul: AIR SEHAT UNTUK TERNAK AYAM: Seri Kesehatan Hewan (1)
Penulis: Drh Yonathan Rahardjo
Penerbit: Nuansa Cendekia, Bandung

Cetakan I: April 2012
Tebal: 96 hlm
Ukuran: 15 x 23,5 Cm
ISBN: 978-602-8394-88-8
Harga: Rp 31.000,-
Dapatkan di: Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Toga Mas, seluruh Indonesia
=========

Keterangan oleh Penerbit pada cover belakang Buku:

Kematian ayam dalam sebuah peternakan merupakan tragedi para peternak. Stres memainkan peranan dominan dalam tragedi ini. Tetapi tahukah Anda bahwa dari sekian penyebab kematian akibat stres itu bermula dari masalah air?

Dengan memaksimalkan pengetahuan akademis serta praktik dari berbagai pengalaman, bulu ini memberikan solusi untuk mengatasi stres ayam dengan pola pemberian air secara tepat.

PANDUAN TERBAIK KESEHATAN AYAM


Tuesday, May 8, 2012

13 PEREMPUAN, Yonathan Rahardjo


Judul Buku: 13 PEREMPUAN.
Jenis: Kumpulan Cerpen
Penerbit: Medium (Grup Nuansa Cendekia, Bandung)
Terbit pertama kali: Juli, 2011
Tebal: 120 Hlm
Harga: Rp 21.000.
Beredar dan dapatkan di: Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Togamas dll

Kisah-kisah kehidupan kaum hawa yang diangkat melalui cara khusus menghasilkan cerita menawan. Yonathan Rahardjo mampu menguak batin perempuan. Buku ini spesial dipersembahkan untuk kaum hawa yang ingin menyadari jiwanya dgn cara lain. Asmara, rindu, dendam, seks, dan spiritualitas menggumpal menjadi sebuah pesona unik. Bacalah dgn batinmu.

13 Perempuan (dalam Fiksi seorang Yonathan Rahardjo)/-asmara-rindu-dendam-seks-impian-naluri-penindasan-tragedi-motivasi. Makna di dalamnya mampu mengungkapkan isi batin Anda yang selama ini sulit terungkap. Ceritanya pendek, tetapi isinya memanjangkan renungan tentang hidup dan bagaimana seharusnya kita menerima kenyataan atas hidup ini.

Endorsement:

"Yonathan Rahardjo sungguh pengarang yang tekun dan tak kenal menyerah. Kumpulan cerita penuh kejutan ini adalah sebuah bukti upaya yang patut diapresiasi."
-Anton Kurnia, penulis cerpen dan esai, mantan tetangga Yonathan Rahardjo

Bagaimana kisah para perempuan ditulis oleh seorang lelaki? Penokohan dan heroisme lelaki memang masih kuat dalam beberapa tulisan di dalamnya, namun inilah sebuah karya menarik untuk disimak karena di berbagai kehalusan perasaan tersirat,-inilah kemahiran menulis yang cukup mengesankan.
-Soe Tjen Marching, Komponis, Doktor Studi Perempuan-Perempuan Indonesia,
Monash University, Australia.

"Angka 13 ditakuti karena mengandung kesialan. Dan menjadi perempuan adalah bentuk kesialan yang lain karena kerap menjadi korban kekuasaan laki-laki. Tapi di tangan Yonathan Rahardjo yang terwujud adalah kelembutan, kesahajaan, dan keramahan. Melewatkan cerita di dalamnya adalah sebuah kerugian bagi nurani dan moral."
-Chairil Gibran Ramadhan, Sastrawan Betawi, Eseis;
Penulis Buku Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Women & Violence.

“Saya bukan seorang pengamat cerita pendek yang intens, namun saya selalu merasa tersentuh bahka tercerahkan setiap kali membaca cerita pendek yang baik. Buku ini termasuk salah satu dari sedikit kumpulan cerita pendek yang mampu menyentuh saya sebagai pembaca.”
-Acep Zamzam Noor, Penyair Tasikmalaya

MENGATASI STRES AYAM, Yonathan Rahardjo


Judul: MENGATASI STRES AYAM: Seri Kesehatan Hewan (2)
Penulis: Drh Yonathan Rahardjo 
Penerbit: Nuansa Cendekia, Bandung 
Cetakan I: April 2012 
Tebal: 108 hlm 
Ukuran: 15 x 23,5 Cm 
ISBN: 978-602-8394-88-8 
Harga: Rp 34.000,- 

Dapatkan di: Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Toga Mas, seluruh Indonesia

=========

Keterangan oleh Penerbit pada cover belakang Buku: Penyebab stres pada ayam sangat banyak. Rahasia mengendalikan stres adalah dengan menjaga keseimbangan dari pengaruh lingkungan, iklim, dan perlakuan peternak terhadap ayam.

Drh Yonathan Rahardjo, seorang dokter hewan yang juga dikenal sebagai penulis terkemuka di Indonesia ini menawarkan cara yang tepat untuk pemelihara dan peternak. Yonathan tidak sekedar menulis teori, melainkan juga melakukan liputan lapangan sehingga buku ini penuh dengan sajian pengalaman praktis.

PANDUAN TERBAIK KESEHATAN AYAM

AVONTUR, Ragil Supriyatno Samid


Judul : AVONTUR

Jenis: Kumpulan Puisi
Karya, Ragil Supriyatno Samid atau Ragil Sukriwul
Ukuran: 13,5 x 20 cm; 
Tebal: 100 hal. 
Isi: 53 judul puisi + 1 esai pembaca
Penerbit: Mozaik Books; ISBN: 978-602-9149-73-9
 
==============



SEPERCIK SINAR MEMBUNUH MALAM GELAP

Yonathan Rahardjo- Bedah Buku Puisi Avontur Majelis Biblio DBuku Bibliopolis-13, 27 Maret 2012, Galeri Surabaya, Balai Pemuda, Surabaya

Mengingat buku adalah kesatuan pesan maka judul Avontur yang merupakan judul salah satu puisi di dalam buku Ragil Supriyanto Samid ini merupakan pesannya. Petualangan, avontur, kalau dirupakan novel dengan mudah disatumaknakan dalam jalinan ceritanya seperti halnya novel Mark Twain yang terkenal “Petualangan Tom Sawyer”. Ihwal buku kumpulan puisi, pemaknaan ini perlu penelusuran dan pembacaan dengan membebaskan cara pembacaan. Dengan cara demikian pembaca dapat menangkap dan mengatakan gejala-gejalanya, sesuai kaidah pembahasan karya sastra termasuk metabahasa yang tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataannya.

Saya menempuh pembahasan dengan cara ini untuk membedakan inti pembahasan buku ini dari yang sudah dilakukan oleh Moh. Fathoni dengan ulasan berjudul “Kesaksian dan Pernyataan dalam Peristiwa” juga pendekatan Saut Situmorang yang lebih mendasar tentang perpuisian, yang telah disampaikan pada bedah buku di Yogyakarta, 18 Maret 2012. Bagi saya, “penjalinan cerita” di kumpulan puisi Avontur rupanya sangat terbantu dengan penyusunan puisi ala alur linear berdasar tahun penulisan puisi yang dimulai dari tahun 1999, tiap tahun selanjutnya selalu ada puisi dan diakhiri pada 2010. Ragil memulai avonturnya pada 1999.

Dengan 7 puisi pada 1999 nilai-nilai negatif tentang lingkungan muncul dari psikologi Ragil (ia seorang yang mengaku sempat kuliah di Fakultas Psikologi UMM) terhadap kondisi tanah airnya, lingkungan dan tempat tinggalnya (Bundaku Pertiwi, Berontak 1, Berontak 2), menghadapinya dengan kesabaran (Ina Anna Umbu Rambu), berupaya memahami (dalam puisi Di Kota Lama), dan berakhir dengan kepasrahan pada nasib dengan kunci kiamat (Diselamatkan Kiamat).

Kalau puisi-puisi tahun 2000 lebih merupakan ekspresi dan impresi terhadap carut marutnya lingkungan, puisi tahun 2001 lebih ke isi hati Ragil (Kalap, Aku Telah Pasti, Rumbia Tlah Hanyut), katakanlah dalam petualangan baru. Interaksi dengan orang lain memang ada dan lebih bersifat personal dengan orang-orang yang bersemayam di hati Ragil. (Sajak Kepada Kawan, Hujan dan Seorang Bocah yang Menangis).

Berbagai petualangan Ragil alami di tahun 2001, baik petualangan psikologi, bahasa maupun petualangan fisik. Pada puisi “Sayang” seperti umumnya penyair yang suka membolak-balik susunan kata-kata dalam kalimat Ragil pun melakukannya. Saya sebut ini petualangan bahasa yang akan memukul kejiwaan, mengingat sebuah cara yang dilakukan Gan Lo Pek seorang pendekar tua naif yang pandai melukis yang mempermainkan di depan khalayak jiwa Suma Boan pendekar yang merasa ahli sastra dalam serial novel “Bu Kek Sian Su” seri “Cinta Bernoda Darah” karya oleh Kho Ping Hoo yang tersohor itu. Tugas dari Gan Lo Pek, empat kata (“Tahi”, “Makan”, “Kuda”, dan “Harimau”) harus dirangkai menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Semua anak dan penyair rasanya pernah main-main (berpetualang) tentang hal ini, juga Ragil Supritano Samid.

Selanjutnya dapat diduga, petualangan dalam buku puisi Avontur bukanlah petualangan jalinan cerita yang sambung menyambung dari satu bab ke bab yang lain seperti novel thriller dengan teka-teki berkesinambungan. Rata-rata buku puisi memang disusun ala mozaik seperti bab-bab dalam “Petualangan Tom Sawyer”, atau “Little House In The Prairie” karya “Laura Ingalls Willder” dan banyak novel lain termasuk juga “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata dengan setiap serinya. Namun demikian semua novel itu ada akhirnya dengan sebuah penutup yang secara “Tuhan turun dari mesin” menyelesaikan buku dengan mendadak tanpa peduli perkembangan alur. Di buku Avontur Ragil adalah dengan perpisahan setelah satu avontur dalam buku ini yang bisa jadi untuk berangkat ke avontur selanjutnya (buku berikutnya). Namun boleh jadi Ragil tetap berupaya menyusun alur hingga perpisahan itu, sebab sebelum puisi terakhir ini ada puisi kematian paman, dan doa minta “koin kesejatian” sampai waktu menyusul mati dalam puisi “To'o Kas Be Doi Do” (Paman, berilah saya uang receh dulu).

Dimulai dari “Bundaku Pertiwi”, Ragil mengalami petualangan demi petualangan hingga akhirnya ia membuat “Layang Perpisahan”. Petualangan fisiknya baik berupa diksi, pencitraan, kata konkrit, majas, bunyi penghasil rima dan ritme. Petualangan batinnya baik berupa perasaan, tema, nada (sikap penyair kepada pembaca dalam puisi) dan amanat, baik berasal dari pengalaman maupun pemikiran Ragil merupakan petualangannya di sini, bahkan juga petualangan menjiplak judul puisi Raja Puisi Liris Indonesia Sapardi Djoko Damono “Aku Ingin” bahkan juga isinya dengan mengubah beberapa kata dengan tujuan sinisme (seperti dilakukan oleh banyak penyair).

AKU INGIN
Sapardi Djoko Damono (1989):

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

AKU INGIN
Ragil Supriyatno Samad (2001):

aku ingin membunuhmu diam-diam
dengan senyum yang tak pernah disampaikan
bibir kepada rahang yang menjadikannya batu

aku ingin membunuhmu diam diam
lewat tangis yang tak sempat dikatakan
palu pada besi yang menjadikannya pisau

Di sinilah, karena puisi Sapardi ini begitu terkenal, sebetulnya kunci petualangan Ragil untuk mendampingi puisi jagonya “Avontur” yang sebetulnya dua akhir baris puisi ini memberi teka-teki kunci: “... lalu, jejak siapa yang tinggal di kamarmu?” Dengan benang merah itu saya ingin menjawab pertanyaan kunci ini dengan mengatakan, “Jejak Sapardi Djoko Damono,” dengan pembedaan adalah pada cita rasa keindahan dan cita rasa sifat-sifat keburukan negatif yang dalam seni antara yang indah dan jelek adalah sama-sama seni (indah), seperti halnya kisah lukisan kotoran manusia karya maestero pelukis Indonesia Affandi yang melekat di benak saya sedari remaja.

Tapi “sayangnya”, puisi-puisi SDD selalu bersifat liris yang kompak, menyatu, kata-kata tidak sekedar alat hubung pembaca dengan ide penyair, tapi sekaligus pendukung imaji, dan pendukung pembaca dengan ide penyair, dan terutama sebagai obyek pendukung imaji. Sedangkan kata-kata dalam puisi-puisi Ragil tidak memenuhi kriteria ini, meski juga menuliskan banyak hal yang bisa diperoleh dalam menghadapi peristiwa sederhana, yang terjadi dan pasti dalam keseharian hidup. Bagi saya, untuk berkebalikan sifat dengan lirisnya SDD menuju puisi liris negatif (curahan perasaan dan pikiran-pikiran negatif), pilihan-pilihan kata Ragil sering tidak mendukung untuk terciptanya imaji.

Hambatan ini tampaknya muncul karena Ragil suka menggunakan frase-frase aneh seperti peta gairah putik dan benang sari (Memang). Rasanya Ragil mencoba beranalog dan memberi metafora-metafora, namun sering tidak menyatu secara asyik dengan kata dan kalimat terkait bahkan juga bunyinya. Hambatan imaji juga terasa dalam penggunaan kata serapan dari bahasa daerah seperti “ngider” (Aku Seperti Ketakutan Seperti Ketakutanmu”, lebih-lebih pada penggunaan kata-kata serapan yang tidak mudah dimajinasikan, seperti kata “atmosfermu” (Bundaku Pertiwi), “obsesi” (Di Antara yang Datang dan Pergi), “dehidrasi akut” (Lost), cara yang tidak disukai Sutardji Calzoum Bachri yang bahkan saya sebut Raja puisi Dadaisme Indonesia karena membebaskan makna kata bahkan seperti bayi yang belajar mengucap, sebelum akhirnya di masa tuanya ini ia menulis puisi dengan kata terikat makna dalam baris-baris puisi.

Dalam makna liris negatif tadi, memang, puisi-puisi Ragil dominan dengan segala sesuatu terkait dengan kekelaman, kegalauan, pikiran jelek-jelek, menggigil, kebingungan, anyir darah, cerca, maki, hujat, layu, jatuh, resah, kegelapan, menendang, memukul, hampa, raung, kalap, sinis, masam, batu, debu, sesat, cacian, kesombongan, hitam, kabut pekat, kalap, semu, kosong, kering, kelam, gemetar, lara, galau, dan sejenisnya dalam berbagai puisi. Bahkan tentang hujan, bulan, doa, ibu, cinta, tema-tema yang paling banyak ditulis penyair pun ia menuliskan dari sisi gelap.

Namun ternyata Ragil juga manusia, bukan malaikat kegelapan, puisi-puisi Ragil yang dominan dengan nuansa kegelapan yang seperti danau mati di waktu malam, hampir selalu ada satu percik cerah seperti cahaya kecil. Meski, hanya dua baris dalam baris-baris panjang kegelapan puisi “Pesan Terakhir Pelacur buat Si Hidung Belang” yang dicahayai pesan terakhir: “...hadapkan wajah ke hulu sungai, jangan pejam/ matamu, beri bibir sedikit senyum,.../. Atau, satu baris dari lima baris misalnya dalam “Sesingkat puisi” (2007). Bagi saya “kecup dan kerlap” ini, yang dimaksud.

SESINGKAT PUISI

di lipat pertemuan yang gagal
bertukar tangkap, berganti lepas
yang tinggal cuma lengking
kecup dan kerlap
yang kejap: sesingkat puisi

Singkat pembahasan Buku Avontur sesingkat puisi dan petualangan manusia, kembali ke metode pembacaan nikmat saya ala novel di mana seperti istilah dari dunia teater “Tuhan turun dari mesin” di mana para penulis Yunani khususnya Euripedes menjelang terjadinya malapetaka memecahkan persoalan yang rupanya tak dapat ditembus dengan derek menurunkan seorang dewa di atas panggung, jelas, banyak petualangan dialami Ragil Sukriwul di sini. Puisi-puisinya juga mengambil peristiwa dan keadaan sekitar sebagai metafor untuk hati (budi) seperti konvensi dunia puisi untuk memperhalus budi pekerti. Contoh metafora atau majas yang mengungkapkan ungkapan secara langsung berupa perbandingan analogis ada pada puisi “Sajak Kepada Kawan”: .../bukan batu karang itu/yang harus ditakuti/tapi karang di hati, tandusnya batin/...

Puisi-puisinya juga dapat dicari intinya dalam bait tertentu sementara bait lain merupakan sampiran (seperti dua bait terakhir di puisi “Semedi Rakit Bambu”.

Memang, Ragil memang ingin “membunuh” pembaca dengan satu percik sinar di malam gelap gulita. Bahkan dengan sinar itu ia ingin membunuh malam gelap itu sendiri. Percikan pilihan hati memang sudah terasa, tapi percikan upaya bahasa selain sikap kegelapan ia masih akan berpetualang. Mungkin tak perlu dengan tipografi seperti pengetikan mondar/mandir//sana/sini/bolak/balik/... pada puisi “Antara yang Datang dan Pergi” , tampilan visual di jaman mesin ketik manual yang sudah banyak penyair bereksperimen. Mungkin perlu meniru kenakalan Tom Sawyer dalam petualangannya, dengan melanjutkan kenakalan-kenakalan Ragil sendiri di antaranya dalam “Surat Buat Umat” dengan memberi salam kepada “habib” memakai ucapan “shaloom”.
Bagi saya, upaya ini penting karena saya dapat merasakan upaya Ragil untuk “membunuh malam gelap pekat dengan sepercik sinar itu” setidaknya menginspirasi saya dan mungkin kita semua dengan banyaknya kemiripan di dunia kita dengan upaya-upaya sesama seperti upaya penyair Spanyol yang mendunia Federico García Lorca  dengan puisinya ini.
LAGU MUSIM GUGUR
(Federico García Lorca )

Hari ini di dalam hatiku
Samar-samar bintang menggigil,
Tetapi jalanku menghilang
Dalam jiwa yang berkabut.
Cahaya memotong sayap-sayap.
Luka dari kesedihanku.
Menguyupi ingatan
Dalam pikiran yang memancur.

Seluruh mawar putih,
Putih seperti kesedihanku,
Putih hanya ketika
Butiran salju jatuh di atasnya.
Mulanya mereka berpakaian pelangi.
Butiran salju juga turun di dalam jiwaku
Jiwa-jiwa salju yang dicium
Serpihan salju dan pemandangan
Menghilang sebelum dalam bayang
Atau cahaya dari pikiran seseorang.
Salju turun dari mawar,
Tetapi tersisa dalam jiwa.
Dan tahun yang mendesak
Membuat sebuah selimut untuk mereka.

Akankah salju mencair
Ketika kematian menjemput kita?
Ataukan di sana menjadi lebih banyak salju
Dan lebih banyak mawar sempurna?

Akankah kita mengetahui kedamaian
Seperti janji Kristus?

BARANG YANG SUDAH DIBELI TIDAK DAPAT DITUKAR KEMBALI, Stebby Julionatan



Judul Buku: Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali
Jenis: Kumpulan Kisah
Pengarang: Stebby Julionatan
Penerbit: Bayumedia, Malang
Terbit Pertama: Januari 2012
Ukuran Buku: 13,5 x 20 cm, xvi + 80 hal
 

=============

MENULIS HAL BIASA DENGAN CARA TIDAK BIASA

Oleh: Yonathan Rahardjo
Materi Bedah Buku, Radio Suara Kota Probolinggo, Sabtu 14 April 2012
Biarkan puisi dan cerpen yang ada dalam buku ini merasuki jiwamu dalam pembacaanmu. Akan kau temukan makna yang membekas dalam dirimu bahwa Stebby Julionatan punya kekuatan dalam karya tulis kreatifnya yang betul-betul kreatif. Ia tulis hal biasa yang mudah ditemui dalam keseharian hidup sehari-hari dengan cara yang tidak biasa, berbagai cara.
Hal-hal biasa dalam buku “Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali”, terasa dari kasus-kasus cinta yang diungkap dalam cerita-ceritanya. Ambillah contoh tentang cinta segitiga dan niat kawin lari -yang gagal- dalam cerpen "Aku, Kamu, Dia: Merayakan Cinta". Kisah ini populer dalam khazanah cerpen. Tapi coba amati cara Stebby menuliskan daya ungkapnya. Tanpa banyak deskripsi lingkungan ia tulis pergerakan pikiran dan sikap tokoh-tokohnya dalam dialog dan monolog. Secara hemat Stebby menggolongkan giliran tampil tokoh-tokohnya dengan sub judul: aku, kamu, dia dan mereka! Cara yang sama dilakukannya pada cerpen "Antara Politik, Gado-gado dan Selingkuhan." Mengamati berbagai metode penulisan cerpen, cara tempuh Stebby ini sangat jarang dilakukan oleh para cerpenis.

Cerita-cerita lain dalam buku ini tidak ditulis dengan metode tersebut, namun terasa cara tulis yang tidak biasa pula dari sisi pergerakan pikiran dan sikap itu, hemat, tepat guna dan berdaya magis liar, setengah gila, orisinil dan jujur. Jujur dalam arti Stebby tidak canggung untuk menulis ulang kutipan-kutipan referensi dengan sumber-sumbernya di tubuh cerpen. Ambillah contoh kutipan cerpen "Sepanjang Braga" karya Kurnia Effendi pada cerpen Stebby "Cukup Sepanjang Suroyo Saja, Bersamamu." Atau penulisan bebas nas Alkitab tentang penciptaan manusia dan pencobaan terhadap Adam dan Hawa, serta dongeng cermin ajaib dalam cerpen Stebby berjudul "Cermin". 
Jelas juga, kidah-kisah dalam cerpen Stebby itu juga kisah biasa atau populer. Namun, coba mencebur dan berenanglah dalam untaian kata dan kalimat dan hubungan-hubungannya di situ. Jelas ini bukan metode penulisan yang populer. Istilah lainnya: ini sastra -menyitir penabalan klas antara cerpen populer dan cerpen sastra oleh para pengamat-. 
Dalam hubungan antar alinea, Stebby seperti tidak membutuhkan deskripsi-deskripsi penghubung pergerakan fisik tokoh-tokohnya. Ia langsung menghunjam pada pikiran-pikiran baru namun suasana tetap terbangun, dan yang lebih penting: pesan yang disampaikan, sampai.  Dan yang paling penting bagi sebuah nilai karya sastra: Kesan! Ceritanya membekas!
Dibumbui gaya realisme magis pada cerpen "Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali', kesan yang membekas ini terasakan dengan kegilaan hati perempuan yang menghadapi suami yang impten -tanpa satu pun kata impoten disuratkan namun tertangkap pesannya-, lalu kematian kekasih gelapnya, dan ketelanjangannya di depan umum hanya untuk memiliki keranjang bambu, dan meluasnya tanda lahir suaminya, serta penuhnya keranjang bambunya dengan suatu "barang" yang misterius! Apa itu? Tak butuh jawaban, dari kisah sebelumnya dapat diraba-raba sebetulnya apa itu. Tak penting apa konkritnya, kesan magisnya terasa dari kisah rumitnya cinta.
Membaca kumpulan cerpen memang kita butuh fokus dalam satu cerpen, menggali segala hal dalam satu cerpen itu. Setelah merasakan segalanya dari satu cerpen itu, maka boleh kita pindah ke cerpen lain, dan seterusnya. Dengan cara ini, beragam cerpen dari 12 kisah ini pasti punya corak sendiri-sendiri. Dalam kumpulan kisah ini Stebby bertema pikir pengetahuan dan cinta yang saling menyeimbangkan dan menggenapi sesuai dengan kata pengantarnya.
Setelah mencermati isi cerpen dengan visi Stebby ini, sah hal ini diungkap. Cinta memang tema utama dan dalam bangunan cinta ini ada berbagai pengetahuan penunjang, pelengkap, atau pemberi warna bahkan penghubungnya dengan kepedulian terhadap lingkungan. Jadi tidak semata-mata egoisme cinta yang terlepas dari tanggungjawab manusia sebagai makhluk sosial. Setidaknya, meski tidak kental masalah eksternal cinta ini, tertulis dalam cerpen "Semenanjung Asa". Sekaligus simbol-simbol pengetahuan di sini menunjukkan adanya lokalitas Probolinggo, pemberi warna khas, "Ada lho sastra Probolinggo!"
Pulau Gili pada cerpen ini pernah diangkat sebagai latar novel "Mentari di Atas Gili" oleh Lintang Sugianto (2007). Ada pula kepedulian sosial sang penerima trofi "Kalpataru" di cerpen Stebby berlatar Gili ini. Lokalitas Probolinggo juga jelas tampak pada cerpen "Cukup Sepanjang Suroyo Saja, Bersamamu", bahkan dengan berbagai gedung di Probolinggo yang secara eksplisit disebut Stebby. Stebby dengan berbagai profesi dan prestasinya memang identik dengan Kota Probolinggo. Ia pegawai Pemda, redaktur majalah "Link-Go", penyiar radio, "Kang" Kota Probolinggo, anggota dewan pendidikan kota, novelis dan cerpenis. Kepedulian lingkungannya semacam tanggungjawab yang melekat pada dirinya.
Ke depannya bila penggarapan tentang nafas Probolinggo dalam sastra ini lebih intens digarap, bakal bisa meniru jejak sastra Belitung berkat novel-novel Andrea Hirata tak cuma sekedar tetralogi Lasykar Pelangi. Dengan pemilihan tema dan daya ungkap dalam kumpulan cerpen Stebby ini, guna menyastrakan Probolinggo agaknya perlu diperjelas setting-settingnya. Kasus-kasus pada cerpen-cerpen Stebby terasa sebagai kasus-kasus cinta universal dan ada upaya lokalitas dengan dialek-dialek lokal pada beberapa cerpen.
Hal-hal biasa yang ditulis dengan cara tidak biasa ini dapat didedah lebih lanjut secara intrinsik, yang pasti selain muncul kelebihan pasti juga ada kekurangannya. Pernyataan ini untuk mencegah terjadinya pujian semu penulisan esai hasil pembacaan terhadap karya Stebby agar tidak menjerumuskan kreativitas Stebby pada kemandegan proses.
Untuk mengritisi lebih dalam sisi intrinsik karya akan butuh waktu dan ketelanjangan lagi. Sementara, kritik pada kemasan antologi akan dibalut dengan pujian terhadap keberanian kompilasi memadukan 2 puisi di awal dan akhir kumpulan kisah sebelum kisah ke 13 yang merupakan PR -pekerjaan rumah- bagi pembaca untuk mengirimkan kisahnya kepada Stebby. Puisi-puisi dan cerpen-cerpen ini dilabeli "Kisah", perlu dijelaskan oleh penulisnya tentang pemaknaan kisah menurut versinya. Memang dengan puisi dan cerpen, kisah dapat disampaikan. Namun sejujurnya perlu dijawab apakah keberanian ini tidak mengganggu pembacaan kisah?
Kita tidak membicarakan disain visual yang memang menabalkan buku Stebby Julionatan ini memang benar-benar buku kreatif. Meski, saya yakin, Stebby tak tinggal diam tentang hal ini sebagai bagian dari kreativitasnya yang di antaranya ditunjukkan bak kreativitas tulisan termasuk pemilihan judul-judul tiap cerpen yang juga tidak biasa, panjang-panjang. Secara garis besar kreativitas, tulisan Stebby (29 tahun) mengingatkan saya pada kreativitas Gabriel Garcia Marques yang pada umur 19 tahun sudah menulis novel "Badai Daun" yang dikumpulkan dalam satu judul buku bersama cerpen-cerpen dan monolognya. Tentu, saja dengan kejelian cara ungkap yang berbeda.
Cerpen-cerpen Marques sangat kuat deskriptifnya, suatu hal yang nyaris tidak dilakukan oleh Stebby. Namun pemilihan judul cerpen-cerpen mereka nyaris senafas, rata-rata panjang-panjang. Bandingkan judul cerpen-cerpen Stebby yang telah disebutkan tadi dengan judul cerpen Marques yang panjang, berupa frase. Contohnya: "Balacaman yang Baik, Penjaja Keajaiban", "Tenggelamnya Mayat Paling Tampan di Dunia". Atau, monolognya, berupa kalimat: "Isabel Memandangi Hujan di Macondos."
Bahkan ada Judul cerpen Stebby ada yang lebih panjang lagi, juga berupa kalimat: "Aku Masih Suka Mencintai Hujan, Meski ia Kini Datang Terlambat." Cara yang tidak biasa. *

BUNGA JAMBU, Gelaran Buku



Judul : “Bunga Jambu: Himpunan Cerita Pendek Remaja Dusun Jambu Kediri”
Editor : Ahmad Ikhwan Susilo

Penulis :
... Ahmad Harish Busthomi | Ahmad Khoirul | Amalia Yayang Paramitha | Ani Shobihah | Anwaril Jalali | Ashfiyak Faried Muchien | A'yzatun Ni'amin Nahriyah | Dendi Budi Utomo | Dwi Nur Fitriani | Ety Lutfiana | Fina Risma | Hanik Malikatul Hidayah | Irfan Fajar Kurniawan | Karina Cahya Adhelia | Kiki | Krida Tri Wahyuli | M. Teguh Santoso | Make Aldo Maulidinho | Miftakhul Fauziah | Mira Masofa | Moch. Ilham Khumaidi Edo | Mufidatul Khoiriyah | Muhamad Ibnu Qotif_Mburitan | Nadzirotul “Naza Arfaza” Choiroh | Nanda Rismatul Mubarokah | Nasrul Amaliyatun Naja | Nofia Eka | Nova Suliswanto | Novi Silvia Andriani | Nurul Mubarokah | Rahmad Riza Bahrudin | Risqa Evva F | Rosyad Huda Bahtiar | Rozy Nur Yanti | Satria Budi Pramono | Septian Yusuf Nugroho | Slamet Nurulli Iman | Sulistyarini | Wasis | Yulita Sari | Zuli Kartika Sari

Ilustrator cerpen : Mohammad Totok Hartono, A. Rendy Yusuf
Gambar Sampul : Mohammad Totok Hartono
Desain Sampul : Alek Subairi
Cetakan : I, Mei 2012
Penerbit:
Gelaran Buku Daar el Fikr Jambu Kediri

Didukung oleh:
Dbuku Bibliopolis
ISBN : 978602-99104-1-4
Tebal : Xvii + 254
Ukuran : 14,5 x 21 cm

=============

BUNGA JAMBU ADALAH DUNIA TERSENDIRI

Oleh: Yonathan Rahardjo,
Resensi Buku JAWA POS, Minggu 10 Juni 2012

Cerita yang hidup adalah cerita yang saat dan setelah dibaca terasa sebagai kejadian nyata yang benar-benar terjadi dan terasa kesannya. Untuk mencapai cerita dengan standar seperti ini dapat ditempuh dengan berbagai cara. Intinya, sang pencerita (penulis) harus menjiwai ceritanya! Keberhasilan penulis-penulis cerpen dalam Kumpulan Cerpen Bunga Jambu ini dapat dirasakan dari seberapa besar penjiwaan mereka terhadap cerita masing-masing. Kedekatan kisah dengan pengalaman yang mereka alami sangat besar perannya guna terciptanya cerita yang hidup. Anda baca dan rasakan, mungkin Anda akan berkata dengan esensi sama dengan pendapat saya.


Mengingat cerita merupakan ekspresi dan impresi dari penulisnya, apalagi cerita ini ditulis oleh anak-anak dan remaja, katakanlah remaja tanggung, masa anak kelas SMP, problem-problem yang diangkat sebagai tema ceritanya agaknya mewakili kepedulian dan masalah yang mereka hadapi saat fase hidup mereka. Dengan beragam tokoh dan yang paling banyak adalah dunia anak-anak remaja sendiri, dalam beberapa cerita bisa ada lebih dari satu tema sebagai hal logis dalam hidup yang selalu multidimensi. Namun untuk tema utama bolehlah saya bagi dari 43 cerpen, tema-tema utama yang diusung tiap cerpen ada sejumlah 11 tema Cinta, 6 Main-Main sebagai dunia anak-anak dan remaja tanggung, 5 Persahabatan, 4 Kasih Keluarga, 4 Ekonomi, 3 Sosial, 3 Putus Sekolah, 3 Misteri, 1 Sosial Relijius, 1 Sekolah, 1 Fabel, 1 Ekonomi Relijius.

Tampak yang paling banyak adalah soal cinta. Rasanya anak dan remaja sekarang memang fasih bicara cinta. Bahkan istilah ”cinta monyet” saja sekarang sudah terdengar lagi di kalangan mereka. Bisa jadi mereka sekarang punya cinta remaja yang bukan cinta main-main lagi. Dan dalam kisah-kisah cinta itu bertaburan kisah-kisah kematian. Sejumlah 4 cerpen cinta juga merupakan kisah kematian! Bahkan jumlah cerita yang bernafas kematian dari seluruh cerpen adalah sebanyak 11 cerpen! Persentasenya 25 persen sendiri! Agaknya para penulis cerpen ini, mereka meski masih muda juga menyadari akan adanya kematian yang dapat menjemput siapa saja tidak peduli berapapun umurnya.

Sesungguhnya setiap orang memang pernah hidup dalam dimensi umur tertentu. Tua renta sekalipun dulunya pernah jadi anak-anak, dan itu merupakan bunga hidup. Bunga adalah dunia tersendiri, dalam arti kehidupan yang final, dibatasi oleh suatu ruang dan waktu. Sama saja dengan kehidupan orang yang setiap masanya sebetulnya juga mandiri. Ada masa anak, ada masa remaja, ada masa dewasa, dan ada masa tua, yang masing-masing bertanggungjawab atas fase hidupnya sendiri-sendiri. Hanya ada dua kemungkinan untuk fase hidup bunga. Kemungkinan pertama adalah bunga itu akan menjelma menjadi buah, dan menjalani fase hidup yang lain lagi. Yang ke dua, bunga itu akan kering, layu, dan luruh, jatuh, mati, gagal menjadi buah, cukup fase hidupnya sebagai dunia bunga.

Dalam cerita-cerita yang ditulis anak remaja ”Komunitas Jambu” yang notabene adalah ditulis dalam satu fase kehidupan mereka ini, kejujuran dan kepolosan hati anak-anak masih terasa. Cerita-ceritanya mudah dimengerti, tema-temanya secara umum tema tunggal (satu dimensi), cocok dibaca oleh anak-anak dibanding orang tua/ dewasa yang menulis dengan bahasa anak-anak. Dengan kesederhanaan cara ungkap, hampir semua cerita di dalam buku ini memakai alur linear ke depan atau maju. Yang memakai alur balik rasanya hanya satu, silakan Anda lacak dan mungkin Anda akan mendapatkan kesimpulan yang sama dengan hasil pembacaan saya.

Dengan keunikan bahasa dan cara ungkap mereka –yang mencerminkan sisi kejiwaan anak-anak dan remaja-, sebetulnya di sinilah letak pemenuhan kerinduan pembaca terhadap masa anak-anak dan remaja yang begitu indah dan bebas dari segala susah, terutama bagi orang dewasa yang sudah dicemari kehidupannya oleh ruwetnya masalah hidup. Ya, dengan membaca kumpulan cerpen Bunga Jambu ini, keindahan hidup masa kanak-kanak dan remaja tertemukan kembali. Apalagi bila tema-tema itu bebas dari tema yang sangat rumit terjadi pada masa dewasa seperti cinta, pengkhianatan, susahnya cari uang untuk biaya hidup layak (yang di buku ini banyak diangkat dalam cerita bertema sosial, putus sekolah, dan ekonomi), dan lain-lain apalagi kematian. Hal ini terasa saat membaca cerita-cerita yang bertema “Main-Main” sebagai dunia anak-anak dan remaja tanggung.

Dan sesungguhnya terasa, ketika mereka -anak-anak itu- menjadi remaja seperti para penulis cerita dalam buku ini, tampak upaya mendewasakan diri dan mulai berkurang kejujuran dan keluguan dalam bercerita, terasa berat berkisah seperti tampak pada beberapa cerita. Bisa jadi karena unsur bakat yang kurang kuat, atau juga bisa karena faktor pertumbuhan remaja menuju dewasa yang penuh akal muslihat. Selebihnya cerita-cerita dengan nafas bakat kuat pun tak kurang-kurang, dan sangat terasa ketika sebagian dari mereka berhasil memberikan konflik yang cukup dan kejutan yang tak diduga di akhir cerita.

Bagi pembaca yang saat ini masih kanak-kanak atau remaja, sudah tentu bacaan dalam kumpulan cerpen ini akan memperkaya mereka, mendampingi bacaan dalam buku-buku kumpulan cerpen –bahkan novel/ novelet- dan majalah kanak-kanak dan remaja masa sekarang yang lebih beraneka ragam. Dengan membaca buku ini, selain mendapatkan ekspresi dan impresi dunia kanak dan remaja sendiri, mereka akan mendapat bekal yang lebih kompleks dan rumit untuk masuk fase hidup selanjutnya. *