Sunday, September 9, 2018

Di Kota Tuhan, Stebby Julionatan

Judul adalah pengantar utama masuk sajian buku. Judul buku ini langsung mengingatkan pada Yesus Kristus dengan Perjamuan Kudus/Perjamuan Terakhir-Nya. Ini judulnya: "Di Kota Tuhan, Aku adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah." Dalam perjamuan kudus itu Yesus di hadapan 12 murid-Nya melakukan upacara yang kemudian menjadi tradisi suci di agama Kristen. Dia memecah-mecah roti tak beragi kemudian berkata kepada mereka, "Inilah Tubuhku...." Penanda kedua keterkaitan buku ini dengan ayat-ayat Yesus (Firman Tuhan) tampak pada penomoran tiap baris puisi sebagaimana dilakukan pada Alkitab. Pengayatan baris puisi yang identik dengan pengayatan Alkitab hanya karena orang tahunya demikian, yaitu Alkitab terdiri atas 66 Kitab dan tiap Kitab terdiri atas sekian pasal dan setiap pasal terdiri atas sekian ayat dengan ayat-ayat yang bernomor. Padahal semula pengayatan itu tidak ada. Bahkan Alkitab seperti buku puisi secara umum tanpa ayat. Ada pengayatan hanya guna mudah dibaca secara sistematis oleh pembaca/umat pemercayanya sebagai Kitab Suci sebagai pesan dari Tuhan. Pembacaan dengan penomoran untuk sebuah fiksi secara relatif sesungguhnya menganggu. Begitu banyak produk buku saat ini butuh kecepatan pembacaan. Setidaknya pembacaan sekali guna menangkap inti sari pesan. Tapi baiklah kita abaikan agar dapat menembus isi buku ini. Apalagi sekarang orang mulai genit berpuisi esai yang penuh catatan kaki, dengan demikian penuh penomoran.
Pembuktian bahwa judul dan isi buku korelatif dengan Firman Tuhan kita baca langsung pada satu baris puisi yang dicomot sebagai judul buku. Puisi itu berjudul "Serva Ordinem et Ordo Servabit Te". Baris puisi itu berbunyi, "Di Kota Tuhan aku adalah daging yang Kau pecah-pecah." Memang benar tekstual frasa baris puisi ini merujuk pada Tubuh Kristus. Frasa selanjutnya setelah koma jelas menunjukkan tanda: "darah yang kau alirkan di sepanjang Efrata." Efrata adalah nama awal dari Betlehem kota kecil tempat kelahiran Yesus. Pembantaian bayi-bayi laki-laki pada zaman Herodes tak terelakkan terjadi juga di daerah Yudea jajahan kekuasaan Romawi ini, akibat perintah Herodes setelah mendengar pengakuan orang majus raja-raja dari timur bahwa telah lahir bayi mulia raja orang Yahudi. Itu penanda sejarah. Sedangkan petanda iman ada pada kalimat puisi ini selanjutnya: "Mengikutmu adalah sedih itu sendiri". Baris selanjutnya, "Biru, apakah jawabmu?" Baris selanjutnya, "Ya, dengan segenap hatiku."
Buku puisi sebelum buku ini adalah duet puisi antara Biru dan Magenta. Ada kaitannya dengan buku ini. Cinta dua insan beda keyakinan, mendialektikakan perenungan mereka antara cinta dan keimanan. Agaknya di buku ini adalah jawaban, masing-masing memilih jalannya sendiri-sendiri. Dan Biru memilih jalan Tuhan. Dia memilih kata Yesus Kristus. Yang darah-Nya tertumpah sepanjang Efrata, Kota Tuhan. Dan Tubuh-Nya dikorbankan, dengan dipecah-pecah. Ini petanda yang jelas nyata pada banyak puisi yang tak lain-tak bukan lahir dari kemenyatuan Biru dengan ayat Firman Tuhan Yesus (Alkitab). Keluar sebagai syair-syair yang seperti bermain-main kata sekaligus permaknaan ayat Firman Tuhan sendiri dari Alkitab. Boleh dibilang sebagai tafsir bebas, atau setidaknya aplikatif pada kata baru dalam puisi sendiri.
Kita tidak hendak membedah sosiologi penyairnya. Lebih baik bicara struktur puisi itu sendiri. Kenyataannya memang demikian tadi. Lalu selain penanda bacaan Alkitab juga penanda tempat-tempat di kota Probolinggo. Tidak terbilang. Kedua bahan dasar (ayat Alkitab dan Kota Probolinggo) yang menjadi penanda puisi ini begitu banyak sehingga tak perlu disebut satu persatu. Toh kita juga paham bahwa karya seni bukan semata mimesis dari kenyataan faktual. Puisi dapat lahir dari wahana apa saja. Sedangkan nilai individual yang mau ditarik ke nilai universal dalam puisi menjadi menarik diamati karena penandanya juga jelas, periode penciptaan puisi ini menunjukkan intensitas penyairnya menulis sehingga terkesan ada petanda baru bahwa antar puisi ada keterkaitan. Perenungan dan pergulatan pribadi ditulis dan disuarakan dalam puisi, pasti banyak nilai yang ditawarkan. Pencarian apakah gerangan?
Kalau counterpart Biru dalam buku puisi sebelumnya adalah Magenta. Pada buku ini partnernya adalah Rabu. Tanda hari begitu jelas. Mengapa kok Rabu? Simbolisme sekali lagi ditawarkan Rabu dan Magenta sebagai sifat/warna yang dibendakan, kini Rabu kokoh sebagai benda pula. Agaknya penyair dalam mengolah kata dan bermain kata memang butuh lawan bicara, sehingga netralitas gagasan terjaga, agar tidak terkesan menggurui atau kalau salah tafsir terhadap ayat Firman Tuhan tidak menjadikannya jatuh sebagai "pelawan Firman". Dan bayang-bayang masa lalu dalam kebersamaan dengan Magenta tetap bermunculan. Itulah manusia, atau gagasan. Dia bukan sesuatu yang linear. Tapi lateral. Bagaimana, apakah puisi-puisi ini memberi doktrin sikap yang tegas? Jangan harap tampak jelas, Si Biru menjadi pemikir/pelamun/pengusil yang suka bertanya, mempertanyakan, ragu, gamang, tapi punya hati nurani untuk tetap berpegang pada imannya: Daging Yang Terpecah-Pecah itu. Soal yang ini tak perlu diragukan lagi. Ternyata Rabu sendiri korelatif dengan Hari Rabu Abu,  sebuah hari penuh kesedihan, sebuah hari suci dari Trisuci Paskah yaitu Rabu Abu-Kamis Putih-Jumat Agung. Tandanya jelas pada puisi "Biru Belajar Arti Perjalanan dari Rabu". Ada kalimat: "Jika Tuhan naik ke surga di hari ke lima puluh, maka tahun ini ia menghadapkan wajah-Nya kepadamu di hari Rabu. (...) Sepanjang jalur penderitaan hingga ke bukit Golgota." Itu petanda tentang jalan salib yang dilalui Yesus menuju pembantaian-Nya sebagai Manusia Tuhan justru untuk menebus dosa manusia (termasuk Biru).
Ini semua sekedar tafsir dari pembacaan. Tak mungkin mewakili kemandirian buku kumpulan puisi ini sebagai pribadi sendiri. Katakanlah ini sebuah resepsi sastra yang mencoba masuk menembus struktur puisi dengan mengesampingkan sosiologi pengarangnya. Tafsir lain boleh jadi muncul oh, ternyata Rabu juga seperti Magenta, dia adalah gadis baru penggantinya. Siapa melarang? Hanya kita tentu tidak gegabah mengesampingkan penanda sebagai tanda bersifat fisik dan petanda sebagai tanda bersifat makna pada struktur puisi itu sendiri.