Tuesday, December 13, 2011

TAMAN API, Yonathan Rahardjo


Judul : TAMAN API
Pengarang : Yonathan Rahardjo
Penerbit: Pustaka Alvabet
Editor : Errena Ike Hendraini
Genre : Novel
Cetakan : I, Mei 2011
Ukuran : 13 x 20 cm
Tebal : 216 hlm
ISBN : 978-602-9193-01-5
Harga : Rp. 42.500,-

=================

Dapat diperoleh di:

* Toko Buku Gramedia
- Jakarta: Mall Pondok Indah, Plaza Bintaro, Kelapa Gading Mall, Plaza Semanggi, Pejaten, Artha Gading, Gandaria, Grand Indonesia, Mall of Indonesia, Matraman, Melawai (Blok M)
- Depok: Margonda
- Bandung: Merdeka, Paris Van Java, Bandung Supermall, Istana Plaza, Bandung Festival
- Tasikmalaya: Gramedia Tasikmalaya
- Cirebon: Gramedia Cirebon
- Semarang: Pandanaran, Java Supermall, Pemuda
- Yogyakarta: Sudirman, Malioboro
- Solo: Slamet Riyadi, Solo Square

Harga: Rp 42.500,-

* Jawa Timur
- Surabaya:
.Toko Buku URANUS, Jl. Ngagel Jaya No. 91 Surabaya Selatan/Gubeng
.dbuku Bibliopolis, Jl Jl Karangrejo VI No. 5 Wonokromo, Surabaya 60234
.YPPI, Jl.Rungkut Asri Barat X No.9 Surabaya
- Bojonegoro: Toko Buku NUSANTARA, Toko Buku PERMATA BORSALINO

* Penerbit Pustaka Alvabet, Jl. SMA 14 No. 10 RT/RW. 010/09, Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, 13610.
Telp : 021 - 800 6458, Fax : 021 - 800 6458, www.alvabet.co.id

* Toko Dewi Sri, Jl. Raya Plaosan 61 Babat, Lamongan 62271
Telp : 0322 457383, HP : 085852985854
Harga : Rp. 42.500,- + ongkos kirim



=================

SINOPSIS


Kaum waria mendapat stigma negatif nyaris di semua lingkungan masyarakat. Anggapan sebagai patologi sosial, perusak moral, pencemar kesehatan, dan menyalahi kodrat Tuhan membuat kaum waria terpinggirkan dan terisolasi. Walhasil, kehidupan mereka pun tak banyak diketahui khalayak.

Taman Api menggambarkan sisi-sisi tersembunyi kehidupan waria yang demikian kompleks. Dengan pendekatan kritis, novel ini tak hanya menyuguhkan "abnormalitas" kehidupan waria dari beragam segi, tapi juga menguak praktik-praktik picik dan ilegal yang menempatkan kaum waria sebagai obyek penderita: misi rahasia berkedok agama untuk melenyapkan waria melalui bisnis gelap bedah kelamin berikut segenap teknologi turutannya. Bagaimanakah praktik picik itu berlangsung dan siapakah pihak-pihak yang terlibat di dalamnya?

Dengan gaya penulisan yang khas dipadu pendekatan investigatif dan konspiratif, rahasia-rahasia yang menyembul dari novel ini ihwal sisi-sisi kabur kehidupan waria dengan segudang problematikanya akan membuat Anda terperangah tiada terkira.


ENDORSEMENT

“Novel ini penting untuk membongkar berbagai kemungkinan sisi patologis dari bentuk-bentuk kesalehan religius yang kerap naif, munafik dan berbahaya.”
—Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto
Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan

“Dengan gaya filmis-jurnalistik, Yonathan ... berhasil mengguncang kenyamanan pastoral pembaca, dengan menyuguhkan detail peristiwa operasi kelamin sebagai kekayaan sekaligus keunikan novel ini. Selamat!”
—Arie MP Tamba
Sastrawan, Redaktur Budaya Jurnal Nasional

"... bisa menjadi pintu masuk untuk membuka 'Kotak Pandora' kisi-kisi hidup yang sering tertutup oleh tabir etika dan moral."
— Edy A. Effendi
Penyair dan Journalist

"... Sungguh suatu novel yang fantastis dan sangat menarik untuk diapresiasi lebih jauh."
— Mansur Ga’ga, M.A.
Dosen Ilmu-Ilmu Sastra

“Novel ini mengangkat persoalan yang jarang disentuh dalam sastra Indonesia, yakni tentang dunia waria dan kaum dokter urban dengan segala konfliknya yang dikaitkan dengan fenomena pemaksaan klaim kebenaran oleh kelompok tertentu dengan menistakan kelompok lain. Percobaan yang berani dan sangat menarik.”

—Anton Kurnia
Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010

“Kisah waria dengan berbagai problem sosialnya lebih sering dijadikan lelucon, jarang yang mengisahkan bagaimana sesungguhnya ’ketegangan’ perubahan orientasi seksual serta ’ketegangan’ perubahan tubuh dan fungsinya. Dalam novel ini, Yonathan menyuguhkan sebuah kisah yang mewakili keingintahuan publik tentang apa yang ada di balik kehidupan mereka....”
—Cok Sawitri
Pemenang Anugerah Dharmawangsa 2010 untuk Prosa

“Novel yang patut disimak. Perpaduan problematika sosial dan kesehatan seperti HIV/AIDS dan kelainan genetik, diramu secara menarik dengan pendekatan seni dan ilmiah. Kritis sekaligus bermanfaat memberikan pendidikan bagi masyarakat.”
—Dr. Hari Basuki Notobroto, dr., M.Kes.
Departemen Biostatistika dan Kependudukan FKM Universitas Airlangga

"Imaginasi penulis buku ini saya pikir termasuk ajaib. Ia berbicara banyak hal, menceritakan banyak hal, yang sebenarnya bukan dunianya. Dan roh penulis masuk pada dunia yang tidak diakrabinya setiap hari. Tentang issue silikon, kekerasan pada Waria secara mental, operasi kelamin, sampai issue munculnya orang orang yang kontra dengan Waria dengan dalil agama. Saya harap buku ini menjadi satu dari sekian referensi dari penokohan Waria di beberapa tulisan sejenis..."
— Merlyn Sopjan
Penulis buku Jangan Lihat Kelaminku dan Perempuan Tanpa V

"Dalam novel Taman Api kita yang waria atau kenal atau dekat dengan kawan-kawan waria akan mengenali dalam fiksi suatu dunia kehidupan yang sayangnya dalam kenyataannya pun masih penuh kekerasan dan diskriminasi hanya karena perbedaan ekspresi dan identitas gender. Kita sambut dengan besar hati terbitnya novel ini, yang merupakan satu lagi langkah maju menuju suatu dunia di mana perbedaan tidak akan lagi menjadi dasar kekerasan dan diskriminasi."
— Dédé Oetomo
Ketua Dewan Pengurus, GAYa NUSANTARA

"Lewat novel ini, kita makin dicelikkan up and down kisah galang gulung waria di negeri ini. Ada thriller, ada god’s spy yang bergemeretak hendak menujah keberadaan waria, sidik medik dan juga futuristik. Dengan alur tarik-ulur yang dentang debar, rasanya penulis berhasil memanggungkan teater kompleksitas rumpun “kelamin ketiga” ini."
— Soffa Ihsan
Penulis

"... Setelah novel “Lanang” meraih penghargaan di Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006, saya berharap penulis yang pernah mengenyam studi dokter hewan ini akan lebih jauh mengungkap berbagai ulah dan perilaku medis di Indonesia, bahkan di dunia. Bukan menyoal hal normatif, tapi berbicara tentang realitas sosial yang ada. Kali ini, Yonathan, lewat “Taman Api”, menyingkap fenomena kaum waria yang orang awam hanya paham di bagian permukaannya saja. Sebagaimana novel, setelah penulisnya menyibak, ..."
— Sihar Ramses Simatupang
Sastrawan, Pemenang Hadiah Sastra Metropoli D’Asia Khatulistiwa 2009

"Konspirasi dalam novel ini merupakan realita bisnis yang ada dalam kehidupan, penderitaan manusia diacak-acak dan dicari kelemahannya sehingga mau dibujuk untuk mengikuti keinginan para konspirator; kelainan fisik, psikis kekuatan ilmu ilmiah kedokteran-farmasi dibalut keuntungan mengesampingkan etika dan kepatutan digunakan sebagai tameng bahkan kepercayaan pun dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan itu; suatu hal yang menjijikkan yang perlu diketahui bersama!"
— Drh. Suli Teruli Sitepu
Wakil Sekretaris Jenderal PB PDHI
(Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia)
periode 2006-2010

"... Taman Api menggedor-gedor kejujuran akal sehat dan hati sanubari publik pembaca, mungkinkah rezim berkuasa dan negara tidak berperan bahkan tidak tahu-menahu sindikat konspirasi mafia humanika itu? ..."
— Toga Tambunan
Penyair, Salah Seorang Pendiri Paguyuban Kebudayaan Rakyat Indonesia (PAKRI)


BIODATA PENULIS

Yonathan Rahardjo, lahir di Bojonegoro, adalah pengarang novel Lanang (2008), salah satu Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Ia merupakan satu dari 15 penulis Indonesia yang terpilih mengikuti UWRF (Ubud Writers & Readers Festival) 2009 di Bali. Karya-karyanya yang lain: Avian Influenza: Pencegahan dan Pengendaliannya (2004), Antologi Puisi: Jawaban Kekacauan (2004), Kedaulatan Pangan (2009). Sejak 1983, puisi, cerpen, esai, opini, dan tulisan jurnalistiknya diterbitkan di berbagai buku dan media massa. Dalam buku 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia (2010), namanya tercatat sebagai salah satu dari 100 Profil Dokter Hewan Berprestasi. Pada pasal Dokter Hewan Berprestasi di Bidang Lain, nama Drh. Yonathan Rahardjo tercatat setelah nama Drh. Taufiq Ismail (Penyair Angkatan 66), Drh. Asrul Sani (Seniman Pelopor Angkatan 45), dan Drh. Marah Rusli (Pengarang Novel Siti Nurbaya).

MARGENDUT SAYANG, Prawoto R Sujadi


 Judul Buku: Margendut Sayang 
Jenis: Antologi Puisi 
Pengarang: Prawoto R Sujadi 
Penerbit: Baca Boekoe Publishing (Prawoto Network) 
Terbit: Cetakan I, Juni 2012 
Tebal: 136 halaman 
Ukuran: 9x16 cm 
===== 


MANTRA CINTA PAWANG RINDU

Oleh: Yonathan Rahardjo, Pengantar Buku


//di lubang telinga/ mesra terdengar/ menggetarkan asa,/ memenuhi perintah agama,/ menjadi ibadah kita bersama// katamu saat kau meng-iya-kan ku// (Puisi Meng-iya-kan). Puisi Prawoto R Sujadi ini menjadi bukti, setiap orang yang sedang pada puncak jatuh cinta akan mampu menuliskan puisi yang berenergi, bertenaga. Energi yang sama yang memampukannya menulis puisi sebegitu banyak dan semuanya tentang cinta baik dikatakan kepada yang dicintainya, kepada diri sendiri, kepada orang lain.
…//terserah kalian akan mengatakan apa/ aku hanya menulis/ merangkai kata/ semua mengendap begitu saja/ dalam rasa dan logika// ...//merangkai kata adalah seni/ ini adalah seni mengungkapkan/ini adalah seni menyampaikan// ini caraku,/ silahkan saja cara mu (kalian) sendiri/ jika kau suka nikmati saja.// (Puisi Jalan Pulangku). Puisi ini dituliskan Prawoto R Sujadi untuk orang lain itu, bukan untuk dirinya sendiri atau untuk kekasihnya yang membuatnya berenergi kuat dalam cinta mereka. Bahwa, ia sudah memilih jalan puisi untuk mengekspresikan hakekat jajaran utama hidupnya. Pernikahan atas dasar cinta, adalah hal terbesar bagi diri semua orang termasuk Prawoto, kedua setelah pengakuan iman agamanya yang dimulai dari pengakuan terhadap Tuhannya.
//Lewat kata dan doa/ kau menjadi "pawang hujan"// (Puisi Batu & Air). Pawang hujan, dua kata satu makna dari puisi Prawoto R Sujadi ini saya yakini menjadi pintu masuk "menuju kredo"-nya dalam berpuisi -sebagai jalan hidupnya- dengan berdoa laksana mantra yang diulang-ulang dalam banyak puisi yang berbeda dengan pengungkapan isi hati yang sering sama dalam gaya yang sama atau mirip.
Saya mengatakan itu "menuju kredo", menuju konsep berkesenian dia, karena memang itulah yang dilakukan dengan intensif tanpa kenal menyerah oleh Prawoto. Ia menulis semua isi hati dan pikirannya (rasa dan logika-nya) tentang kekasihnya dan hubungannya dengan kekasihnya yang dalam buku kumpulan puisi ini dipanggilnya dengan nama kesayangan Margendut. Rasanya, impresinya, kenangannya, rindunya, kegelisahannya, kebahagiaannya, senyumnya, tatapan matanya, mesranya, manjanya, airnya, batunya, dan banyak lagi kesamaan yang diulang dalam puisi beda.
Selain kesamaan gaya, pemilihan kata, tema, juga judul. Dari judul saja ada 11 judul puisi yang menyebut kata Rindu: Berbalut Rindu, Angin Rindu, Energi Rindu, Deru Rindu, Rindu Bersamamu, Terpasung Rindu, Memadu Rindu, Aliran Rindu, Pelengkap Rindu, Ada Rindu, Kutitipkan Rindu. Boleh saja Prawoto tidak menyadari hal ini, bahwa diksi atau pilihan katanya banyak merujuk pada kata-kata yang sama itu. Boleh jadi pula, sama demikian halnya dengan pesan yang disampaikan. Sangat kontekstual bila munculnya kata dan pesan yang dipilih secara sama oleh karena suasana hatinya yang serba sama berkat rasa cinta yang berbunga-bunga, kasmaran, sebagai dua sejoli yang sedang mabuk eros menuju jenjang pelaminan.
Bagaimana dengan kata ”Cinta”? Tidak harus diverbalkan dalam kata cinta, jelas semua puisi dalam buku kumpulan puisi ini adalah puisi cinta. Wujudnya dan tanda-tandanya dapat macam-macam, dengan berbagai pilihan kata tadi, juga peristiwa-peristiwa, latar, rasa yang berjuta. Namun kata cinta itu juga bertabur dalam tubuh puisi-puisinya. Sedang dari judulnya saja, yang mengandung kata cinta ada 8 puisi: Memulai Cinta, Hujan Cinta, Rona Cinta, Lukisan Cinta, Tentang Cinta, Ikatan Cinta, Pohon Cinta, Menyapa Cinta,
Boleh kalau Sutardji Calzoum Bahri terkenal dengan puisi mantranya oleh karena penggunaan kata yang diulang-ulang dalam tiap puisi dan membebaskan kata dari makna dan makna dari rangkaian kata yang menjadi mantra. Boleh juga kan kalau secara subyektif saya menyebut puisi-puisi yang doa Prawoto dalam buku ini adalah mantranya, malah mantra bersambung. Mengapa mantra bersambung?
Memang, mantra dalam puisi Prawoto bukan seperti mantra dalam puisi Sutardji yang membebaskan kata dari makna dan mencipta dadaisme sebagai akar dari pengucapan ─yang sangat terasa dari kata dan ucapan yang mirip yang diulang-ulang dalam satu puisi, baik yang berarti maupun tidak─. Namun kalau semua puisi Prawoto dalam buku ini dibaca secara langsung berurut atau bersambungan dia sudah menjadi mantra oleh karena terasa pengulangan-pengulangannya baik kata, isi, pesan, maupun temanya. Selain contoh yang bertabur tadi, ambil contoh lain pengulangan tentang air dan batu yang diungkap puisi "Memulai Cinta" (seperti dikutip di atas) dalam puisi lain: …//Kau “BATU” .../ Aku “AIR” ...// kau membatu, ku kan mencair// (Puisi Batu & Air)
Adapun sebagaimana banyak penyair yang cenderung menulis secara liris ala Sapardi Djoko Damono, Prawoto pun ada kalanya mengungkap kata yang menuju liris atau curahan perasaan dalam puisi-puisinya. //Aku air/ yang kan melerak/ masuk dalam ragamu/ Kau batu/ membuatku tegar dan menguatkan// (Puisi Memulai Cinta). Atau dalam puisi "Memainkan Nada" // Aku adalah biola/ engkau adalah dawainya/ siang dan malam menjadi penggesek/ mengalunkan nada kedamaian/ mengalir seirama angin/ dalam lakon kehidupan//.
Namun puisi-puisi Prawoto R Sujadi tidak menjurus kepada penciptaan imaji oleh curahan hati semata. Ia juga memainkan logika atau pikiran. Imaji yang tercipta pun tidak laksana imaji yang dicipta Sapardi dengan puisi lirisnya yang maestero. Permainan sintaksis (susunan kata untuk membentuk makna dan suasana) puisi Prawoto pun tarik menarik antara pun curahan hati dan pikiran. Bahkan itu disadarinya sendiri dengan menuliskannya dalam banyak puisinya selain "Puisi Jalan Pulangku". Contohnya dalam puisi "Memadu Rindu" …//bermodal hati, menabung pikiran/ dalam sikap dan tindakan/ mencipta senyum yang takkan terlupakan//…, dan banyak puisi lain.
Dalam puisi "Di Ujung Perang", Prawoto R Sujadi menulis: …//senjataku adalah prinsip/ perisaiku adalah penghormatan/ jurusku adalah cinta/ kesaktianku adalah saling bicara//….  Agaknya di sini kunci untuk membuka pintu masuk “menuju kredo”-nya dalam berpuisi di atas. Kalau Prawoto mengatakan kekasihnya (yang “batu”) adalah ”pawang hujan” karena ia (Prawoto) ”air”, maka soal rindu dan cinta, Prawoto adalah “pawang rindu” yang “berjurus cinta”. Karena jurus cinta ini diwujudkan dalam kesaktiannya (saling bicara) yang tak lain adalah puisi yang menuju kredo “mantra bersambung”, maka sesungguhnya cinta itulah mantranya.
Mantra ini akan selalu diucapkan Prawoto dalam puisi-puisinya yang selanjutnya terutama dalam puisi hidup-nya dalam wujud cinta kasih suami istri dalam bahtera rumah tangga. Maka makin jelas makna “Mantra Cinta Pawang Rindu” ini dirasakan dengan membaca puisi untuk Margendut-nya, yang ternyata punya nama asli yang sangat manis pencipta segala rindu Prawoto. Ini ada dalam puisinya yang berjudul “Sela” ...//detik bersela, detik, ada sela/ namamu lalu detik, sela, detik,/ dan namamu tercipta/ ada di antara detik/ sela, detik//...
Dan mantra itu akan terus menjadi doa seperti ditulis Prawoto R Sujadi dalam puisi ”Perjalanan Doa” //di sudut hati/ ada namamu yang terus saja melekat/ untuk waktu dan  demi masa,/ yang terus saja melaju/ aku dan kamu/ merencana dalam sketsa/ Semua telah ditulis Sang Esa// ku telah berusaha/ menyebutmu dalam perjalanan doa// Shellalizha...Shellalizha... *