Thursday, December 2, 2010

LANANG, Yonathan Rahardjo


Judul : LANANG
Penulis : Yonathan Rahardjo
Kategori serial : AlvabetSastra
Editor : A. Fathoni
Cetakan : I, Mei 2008
Ukuran : 12,5 x 20 cm
Tebal : 440 halaman
ISBN : 978-979-3064-59-8
Harga : Rp. 55.000,-
______________________

L A N A N G
(Pemenang Sayembara Novel DKJ 2006)

Yonathan Rahardjo

SINOPSIS:

Doktor Dewi seorang antek korporasi asing. Berkepentingan memasok produk rekayasa genetika dari luar negeri, dia ciptakanlah hewan transgenik penyebar virus penyakit, Burung Babi Hutan. Sejak kemunculan makhluk aneh ini, area peternakan sapi perah tempat Lanang bekerja tiba-tiba terserang penyakit gaib. Ribuan sapi mati. Warga pun gempar.

Bersama pemerintah dan masyarakat, Lanang, dokter hewan yang cerdas, obsesif, dan melankolis, sibuk mencari tahu sebab kematian sapi perah. Seminar dan penelitian dilakukan, tapi penyakit misterius tak kunjung ketemu. Usaha ilmiah pun menemui jalan buntu. Lalu, mengemukalah isu dari seorang dukun hewan bahwa biang keladi kematian sapi adalah Burung Babi Hutan, makhluk jadi-jadian. Polemik mistikisme tradisional versus bioteknologi modern pun menambah ruwet persoalan. Akankah proyek Doktor Dewi berjalan mulus?

Ditulis dalam gaya thriller, plot cerita novel ini sungguh menegangkan. Karakter tokoh-tokohnya pun rumit dan penuh intrik. Dengan pendekatan konspirasi, karya ini menjadi bacaan kritis bagi yang tertarik pada isu-isu sosial, psikologi, bioteknologi, dan politik kesehatan.


KUTIPAN PUJIAN:

”Membaca novel ini, saya segera merasakan kemiripannya dengan kesusastraan Eropa abad ke-20, misalnya novel Prancis Plague (Penyakit Pes) karya Albert Camus atau karya-karya Géza Csáth dalam kesusastraan Hungaria: kita harus menghadapi kehadiran simbolik, mistik, rasional, dan irasional secara bersamaan. Sebagai ”pemula” dalam kesusastraan Indonesia, saya membandingkannya dengan Harimau–Harimau karya Mochtar Lubis. Musikalitas dan plastisitas deskripsi dalam novel ini luar biasa, seperti skenario film!”
—Mihaly Illes, Duta Besar Hungaria untuk Indonesia

“Yonathan seperti Taufiq Ismail yang juga dokter hewan, sama dengan Asrul Sani idem ditto dokter hewan. Ditarik lebih jauh ke masa lampau, Marah Rusli, pengarang roman Siti Nurbaya, pun dokter hewan. Saya pikir, tentu ada sesuatu yang “spesial” dengan dokter hewan. Bisa bersajak, bisa mengarang.
... Saya pikir, Yonathan ini wong edan, gendheng, gilo-gilo baso, sifat yang melahirkan kreativitas, orisinalitas. Kukirim sajakku padamu Yonathan. Bunyinya: Katakan beta/manatah batas/antara gila/dengan waras.”
—Rosihan Anwar, Tabloid Cek & Ricek

“Kekuatan utama novel ini terletak pada wawasan baru yang mewarnainya. Rumit tapi…. Sangat menarik.”
—Ahmad Tohari, novelis

“Novel yang kaya dan dalam, menampilkan berbagai wajah dan genre yang beberapa di antaranya belum dirambah pengarang Indonesia lain: sains, thriller, sosial, psikologi.”
—Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno, Guru Besar Sastra Universitas Indonesia

”Ada beberapa dokter hewan yang terjun dan bergelut di dunia sastra. Tetapi, agaknya, hanya (Dokter Hewan) Yonathan Rahardjo yang coba memperkaya sastra Indonesia dengan rekayasa genetika sebagai bagian dari pengucapan literernya melalui novel Lanang."
—Martin Aleida, wartawan Tempo 1971-1984

“Penyair yang dokter hewan ini dikenal dengan puisi-puisi kontekstual dan sosialnya. Kritik-kritiknya tajam, kendati dibalut dengan bahasa yang telanjang.”
—Kompas

"Lanang adalah perpaduan mengejutkan antara eksperimen biologi mutakhir dengan alam spiritual tradisional. Kerumitan alur cerita, keterampilan bahasa, dan kompleksitas psikologi yang ditampilkannya adalah tawaran gelagat baru yang menakjubkan dalam denyut sastra Indonesia mutakhir."
—Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan

“Jalinan cerita dan tokohnya memang buah imajinasi, tapi latar belakang teknologi dan konspirasi global (yang jadi setting ceritanya) boleh jadi mendekati kenyataan. Gabungan fiksi dan kenyataan yang membuat masyarakat perlu berpikir ulang ihwal teknologi!”
—Hira Jhamtani, pengamat kehidupan, Gianyar, Bali

“Cara bercerita dalam novel Lanang memperkaya khazanah susastra Indonesia, sebuah cara penceritaan yang baru, rinci, telaten, merayap, namun arahnya pasti dan penuh kejutan.
Penceritaan hal-hal sensitif, yang menjadi kontroversi berbagai pihak dalam konteks sastra dan moralitas sastra Indonesia, mampu disampaikan secara terbuka dan terus terang namun tidak blak-blakan dan vulgar, dikemas dalam kata dan kalimat indah khas susastra, dengan tetap menjaga dan mempertahankan greget suasana dan makna.
Konflik kejiwaan dan karakter tokoh utama ditampilkan secara mendalam, menghadirkan konflik itu terasa nyata, dan memang sebetulnya mewakili kondisi kejiwaan dan spiritualitas manusia Indonesia pada umumnya dalam menghadapi masalah yang menyangkut kepentingan bangsa.”
—Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur Budaya Harian Republika

"Novel ini menggarap satu tema yang sangat menantang: rekayasa genetika. Sebuah tema yang memerlukan pengetahuan khusus dan kecakapan menulis yang lebih dari cukup. Dalam beberapa hal, sang pengarang telah memenuhinya. Selebihnya, biar sidang pembaca yang menilai."
—Zen Hae, penulis sastra, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta

“Yonathan Rahardjo, seorang dokter hewan lulusan Universitas Airlangga Surabaya, memilih berkecimpung di dunia tulis-menulis ketimbang berpraktek sebagai dokter hewan....
Dari semua tulisan yang dibuatnya, Yonathan menyadari dirinya cenderung menyukai tulisan-tulisan yang mengungkap rasa, yaitu tulisan sastra, bukan berita ilmiah ataupun laporan, tapi bahasa indah yang di dalamnya ada prosa dan puisi, yang punya benang merah dengan apa yang ia lakukan waktu kecil.”
—Bisnis Indonesia

”Novel (Dokter Hewan) Lanang mengangkat kisah kemanusiaan dokter hewan dan seluk-beluknya secara rinci, gamblang dan imajinatif dalam menyelidiki misteri kematian hewan dalam jumlah besar, yang memengaruhi hajat hidup masyarakat dan bangsa.
Jatuh bangunnya Drh. Lanang dalam menyelidiki kasus penyakit penyebab kematian hewan itu merupakan cermin apa yang sesungguhnya terjadi di bidang kedokteran hewan dan peternakan di tanah air, dengan menggunakan dasar ilmiah dan dikembangkan sebagai fiksi dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.
Novel yang patut menjadi bacaan “wajib” bagi kalangan kedokteran hewan dan peternakan serta peminat seni sastra pada umumnya. Penyajiannya sangat inspiratif dan menjadi jembatan emas antara dunia ilmiah kedokteran hewan dan dunia kemanusiaan (humaniora).”
—Prof. Drh. Charles Ranggatabbu, MSc, PhD, pakar Kedokteran Hewan, Guru Besar dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada Jogjakarta

“’Kita kembali pada karya sastra saja,’ ujar Yonathan Rahardjo, salah satu pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta. Karyanya adalah salah satu di antara pilihan juri yang mencengangkan publik sastra karena realisme hampir nampak dalam karya para pemenang ini.”
—Sihar Ramses Simatupang, Sinar Harapan

“Yonathan Rahardjo selama ini mencermati berbagai tema kehidupan, seperti kehidupan politik yang bobrok, porak porandanya lingkungan, dan berbagai kenyataan sosial lainnya. Semua itu dicurahkannya….”
—Warta Kota

“Sebuah roman yang akan membawa kita meruntuhkan blokade terhadap orang lain sebagai impersonalitas menuju sesuatu yang personal dengan menciptakan ruang intim. Orang lain hadir dengan berbagai “cara memahami” sebagai warisan budaya dalam menetapkan berbagai definisi berikut batas-batas kategori dan klasifikasi yang kaku. Roman ini mendobrak batas-batas itu dan menjadikan semua tokoh ceritanya sebagai cermin yang dalam untuk menjenguk diri kita sebagai manusia dengan kecemasan, harapan, rasa sakit, dan cinta.”
—Wicaksono Adi, kritikus seni, Juara I Lomba Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2004

Monday, November 29, 2010

KEDAULATAN PANGAN, Yonathan Rahardjo


Judul Buku: Kedaulatan Pangan
Pengarang: Yonathan Rahardjo
Penerbit: Majas
Jenis: Kumpulan Sajak
Cetakan : I, Juni 2009
Ukuran : 12,5 x 20 cm
Tebal : 112 halaman
ISBN : 978-979-99159-6-2
Harga : Rp. 30.000,-
___________________

Kata Penerbit:

Batin Pangan

Pangan merupakan bagian tak terpisahkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup pokok manusia. Berbagai jenis makanan dan minuman diproduksi dan kita konsumsi setiap hari. Betapa dekat dan tak terpisahkannya pangan dengan kita, mengilhami Yonathan Rahardjo menulis puisi-puisi yang langsung berjudul nama makanan dan minuman.
Dengan menempatkan nama ‘diri’ pangan itu pada judul sajak-sajaknya, ada suatu harapan, bahwa pangan itu akan berbicara kepada kita –-apapun materi dan maknanya-- dengan segenap kedaulatannya, terurai pada isi puisi.

Kedaulatan Pangan yang berbicara atas nama batin dan pandangannya sendiri, adalah antitesa terhadap sikap tunggal manusia terhadap pangan hanya berfungsi sebagai pemuas rasa lapar dan pemasok gizi hidup belaka. Dengan pangan, kebutuhan kita dipenuhi bukan hanya yang bersifat fisik, tapi juga batin.
Nilai batiniah dalam pangan konsep Yonathan antara lain dipublikasikan pada 2003 dalam Antologi Puisi Bisikan Kata Teriakan Kota oleh Dewan Kesenian Jakarta. Pecel Lele dan Siomay adalah dua judul puisinya pada antologi puisi itu.
Salah seorang yang memberikan perhatian besar pada eksistensi puisi pangan Yonathan adalah penyair Binhad Nurrohmat yang terus mengingatkan pembaca akan makna penting Sajak-sajak Kedaulatan Pangan Yonathan Rahardjo dalam peta sastra Indonesia.
Perhatian Binhad, antara lain dipublikasikan pada 1 Mei 2004 di Fajar Banten dengan tulisannya: “...Yonathan meski secara tersamar sebenarnya menunjukkan suatu komitmen sosial juga (puisi “Bukan Serabi Bandung...)”
Terkait nilai yang tampak dari puisi Yonathan Rahardjo seperti “Bukan Serabi Bandung” ini, Sinar Harapan 2004 menulis, “...Yonathan menggali ide batu yang sederhana, suatu gurauan serius dengan logika anak muda yang hendak bebas berkreasi. Coba simak sajaknya yang berjudul “Bukan Serabi Bandung...”
Mengingatkan kita tentang makna penting sajak-sajak pangan Yonathan, antara lain ditulis oleh Sastrawan Maroeli Simbolon pada Sinar Harapan dan Lampung Post 2004.
Tulis Maroeli di situ, “... Dan teman-teman seniman bertepuk tangan. Sebaliknya, ingatan saya segera tertuju kepada dua penyair muda berbakat besar, yang mengekspresikan pendapat Tardji (penyair Sutardi Calzoum Bahri) –dengan pendekatan lain. Yonathan Rahardjo sering menulis puisi dengan memasukkan jenis-jenis makanan dan minuman masyarakat kita sehari-hari, seperti ketupat, lepat, peyek, bandrek, pisang goreng.”

Sunday, November 7, 2010

JAWABAN KEKACAUAN, Yonathan Rahardjo




Judul Buku: Jawaban Kekacauan
Pengarang: Yonathan Rahardjo
Penerbit: Majas
Jenis: Kumpulan Puisi dan Sketsa
Cetakan : I, Agustus 2004
Ukuran : 12,5 x 20 cm
Tebal : iv+52 halaman
ISBN : 979-99159-1-0
Harga : Rp. 20.000,-
________________________________

Kata Penerbit:

JAWABAN KEKACAUAN merupakan Buku Kumpulan Puisi Pertama Yonathan Rahardjo. Buku ini diluncurkan di Wappres (Warung Apresiasi) Bulungan Jakarta Selatan pada 8 Agustus 2004. Saat itu karya-karya puisi dalam buku ini dibacakan oleh seniman-seniman Jakarta dengan puncak acara pembacaan puisi secara atraktif oleh Yonathan Rahardjo sendiri. Hal ini mengilhaminya untuk membuat Kredo Puisi Jawaban Kekacauan diwujudkan dalam penciptaan puisi-puisinya selanjutnya. Sehingga melahirkan Buku Puisi ke dua, Kumpulan Sajak Kedaulatan Pangan, yang notabene merupakan jawaban kekacauan berbagai masalah hidup yang bertitik tolak dari pembahasan tentang pangan, yang kemudian lebih intens dituangkan oleh Yonathan dalam puisi-puisinya.

Lantaran peluncuran buku puisi dan sketsa Jawaban Kekacauan ini, wartawan senior tiga jaman Rosihan Anwar dalam Tabloid Cek & Ricek menulis, “Yonathan seperti Taufiq Ismail yang juga dokter hewan, sama dengan Asrul Sani idem ditto dokter hewan. Ditarik lebih jauh ke masa lampau, Marah Rusli, pengarang roman Siti Nurbaya, pun dokter hewan. Saya pikir, tentu ada sesuatu yang “spesial” dengan dokter hewan. Bisa bersajak, bisa mengarang." Selanjutnya, tulisa Rosihan Anwar, "... Saya pikir, Yonathan ini wong edan, gendheng, gilo-gilo baso, sifat yang melahirkan kreativitas, orisinalitas. Kukirim sajakku padamu Yonathan. Bunyinya: Katakan beta/manatah batas/antara gila/dengan waras.”

LORCA, Sihar Ramses Simatupang



Judul Buku: Lorca, Memoar Penjahat Tak Dikenal
Pengarang: Sihar Ramses Simatupang
Penerbit: Melibas
Terbit I Tahun: 2005
___________________
MENCARI MANAJER HIDUP LORCA

Oleh: Yonathan Rahardjo, disiarkan pertama kali di milis Apresiasi Sastra

Persembahan terbaik untuk siapakah yang diberikan Lorca dalam hidupnya, ketika ia dengan begitu mudah menyerah dalam kehidupan yang bergitu renta bersama istrinya dalam perkampungan kumuh yang tersembunyi dari kehidupan khalayak ramai? Pemberian terindah apakah yang mampu dipersembahkan Lorca untuk mengisi hari sisanya ketika dengan begitu saja ia memutuskan untuk balik ke kampung halamannya untuk menyusur tempat-tempat yang bersejarah baginya, yang dikiranya ia tidak dikenali orang banyak, namun tenyata di situ
banyak orang masih mengenal jati dirinya sebagai seorang anak penjahat, seorang tokoh jahat dan terkalahkan dan menjadi buruan polisi yang berwajib, dan ia akhirnya menyerah harus ditangkap oleh pihak keamanan dan dibawa ke penjara dan dihukum mati, namun hendak diselamatkan oleh Ibel adiknya yang mati dalam misi penyelamatannya namun akhirnya juga harus mati bersama adiknya ini dalam perjalanan menuju tiang gantungan, diberondong oleh peluru-peluru panas polisi dengan darah yang berlumuran di mobil berterali besi? (hlm 445, 446, 451)

Sungguh tragis dan begitu mudahnya seorang penjahat berkaliber besar yang memimpin gerombolan Mafioso Atilos, bertekuk lutut di tangan pihak keamanan lalu jatuh dalam kehidupan jelata lalu diakhiri hidupnya juga dengan begitu mudah. Nilai apakah yang ditawarkan oleh seorang penjahat yang masih mempunyai nyali yang tidak bisa dibilang besar? Apakah yang mempengaruhi kehidupannya yang tidak punya akar kuat untuk tetap bertahan dalam sikap sebagai sorang tegar yang memimpin anak buahnya?

Lihatlah pendapat Martin seorang tua yang mempercayai Lorca sebagai pilihannya sendiri untuk melanjutkan kelompok mereka hingga menjadi besar, tapi pada puncak kejayaannya Lorca malah membuat kesalahan besar yang menunjukkan betapa lemah jiwa kepemimpinannya, banyak main dengan banyak wanita yang ada di sekelilingnya sebagai seorang pemimpin mafia, banyak memaklumi kesalahan-kesalahan anak buahnya yang pandai menjilat dan menarik hatinya hanya dengan main kata-kata (hlm 378-379). Dan justru inilah awal kehancuran Lorca dengan bersekutunya anak buah yang tidak puas dan membawa Elianos merebut kepemimpinan Lorca dengan perang saudara dan membentuk geng sendiri (hlm 382-383).

Untuk membuat seorang begitu kuat dalam hidup, ternyata memanglah membutuhkan banyak faktor selain yang ada dari dalam dirinya sendiri. Faktor internal sebagai unsur genetik dari Ernesto, ayah yang hidup dalam dunia gelap sebagai seorang pemabuk, penjahat, dan Vanessa, ibu yang seorang perempuan kegelapan, pelacur, punya banyak lelaki (123-139).

Lalu unsur lingkungan, keluarga yang porak peranda dalam tatanan masyarakat, hidup di kalangan kumuh, kalangan penjahat, pelacur, setiap hari bergaul dengan para manusia yang tersingkir dalam tatanan perikehidupan masyarakat. Bahkan pengenalannya terhadap perempuan dimulai dengan perkenalannya dengan Anna, seorang gadis yang dikaguminya dan ternyata adalah seorang pelacur, yang dalam kehidupan selanjutnya akan selalu dikenang oleh Lorca sebagai seorang yang pertama kali mengajarinya berbuat mesum sekaligus mengenalkannya terhadap nama 'rumah Tuhan' yang mendorong Lorca mencari kedamaian buat Roseti, adik perempuannya yang pada masa dewasa hingga akhir hayatnya adalah satu-satunya trah keluarga Ernesto.

Manajemen, pengelolaan, pengelolaan siapakah yang membentuk Lorca bertumbuh dalam himpitan genetik dan lingkungan yang begitu tidak mendukung untuk suatu pertumbuhan sehat bagi seorang anak? Boleh dikata dalam Novel Lorca, Sihar Ramses Simatupang, penyair, cerpenis dan novelis dalam buku novel pertamanya ini menyerahkan unsur pengelolaan ini hanya berdasar naluri, merujuk dari kehidupan Kristiani (Katolik) yang tampak dalam novel ini, meski tidak secara verbal diutarakan, ada suat manajemen konflik yang terjadi dengan sendirinya.

Tidak satupun orang yang hadir dalam kehidupan Lorca punya kepedulian penuh terhadap perkembangan jiwa dan kepribadian anak kecil yang bertumbuh dalam lingkungan gawat seperti itu. Ernesto ayahnya suka meninggalkan keluarganya, Ibel adiknya terseret dalam arus pergaulan pemakai obat-obatan dan narkotika, Vanessa ibunya adalah seorang perempuan kolektor lelaki bahkan menyimpan seorang lelaki tidak bernama tinggal dan hidup di rumah yang di dalamnya tinggal Lorca, dan Roseti, yang masih dalam masa pertumbuhan, yang tentu sangat mudah digoncangkan mental dan moralnya dengan gaya hidup kumpul kebo antara orang tua wanitanya dengan lelaki yang tidak dikenal.

Manajemen, pengelolaan kepribadian siapakah yang membuat Lorca punya pertumbuhan untuk mengirimkan Roseti ke biara gereja, untuk menyelamatkan hidup adik perempuan satu-satunya yang ia sayangi, agar tidak ikut 'gelap' seperti anggota keluarganya yang lain, semua? Boleh dikata, Anna hanyalah salah satu alat untuk memasukkan dan memaknai kata gereja, rumah Tuhan bagi telinga Lorca, karena yang terjadi dalam novel ini hanya adegan dan dialog bersama Anna yang bercerita tentang hal ini. (hlm 102-103)

Lorca meninggalkan adiknya di tempat Tuhan ini, dan mencari tempat bagi dirinya sendiri, bergabung dengan gang Muka Pucat Frederico, sebagai seorang bartender, namun mendapat perhatian istimewa dari pemimpin besar gang ini, Frederico. Pembelaan demi pembelaan diberikan kepada anak pemula ini, dan diproyeksikan dialah yang bakal mampu meneruskan kepemimpinan di gang ini. Dan kehebatan Lorca dalam mewujudkan ramalan, intuisi dan manajemen kepemimpinan Frederico sangat terasa ketika Sihar Ramses Simatupang menuliskan peristiwa-peristiwa perkelahian dengan lawan-lawan 'politik'nya, bahkan dalam penyerbuan ke bank dalam perampokan-perampokan yang berbuahkan kemuliaan gang ini, sampai akhirnya berujung kegagalan besar yang menjungkalkan bahkan menewaskan Frederico yang berbuntut kekosongan kepemimpinan (251-259).

Manajemen Frederico terhadap Lorca dilanjutkan dengan manajemen Martin, seorang tua berpengaruh dalam kelompok sisa. Si bijaksana Martin selalu membela Lorca dalam persaingan dan perebutan pengaruh di hadapan teman-teman sisa-sisa anggota gang yang terpecah akibat mangkatnya Frederico. Martinlah Manajer Lorca dalam mengatasi masa-masa sulit, sampai berhasil membangun kepemimpinan baru dalam gang, merebut pengaruh teman, menjadi gang yang ditakuti masyarakat, meraih kemenangan besar-besaran dalam menguasai pulau, mendirikan tahta baru, dengan bekal buntelan/karung emas yang berhasil diselamatkan pada penyerbuan gagal dalam masa akhir kepemimpinan Frederico (270-345).

Kepercayaan terhadap manajemen orang tua ini bagus hasilnya, karena ada faktor kontrol yang diberikan oleh orang lain. Hal yang sangat bertolak belakang terjadi ketika kepemimpinan Lorca mengarah kepada otoritarian, kepemimpinan tunggal, mendengarkan kata hati sendiri, memenangkan ego sendiri, tidak mendengarkan lagi kata Martin dan kata teman-temannya, begitu mudah meluap amarahnya begitu ada kritik, mengumpulkan banyak wanita dan mudah jatuh hati untuk melayani para wanita yang menurut kacamata para lawan politiknya, terutama Elianos, sungguhlah suatu jiwa kepemimpinan yang sangat lemah.

Inilah awal kejatuhan Lorca, gangnya gagal bertarung dengan kelompok gang lain, dan Elianos berhasil melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Lorca. Lorca jatuh, tinggal seorang diri, lari, diselamatkan seorang wanitanya yang jadi istrinya, Diana, meski tanpa pernikahan sah di mata umum, keduanya hidup dalam kesendirian, keterpurukan, dalam rumah kumuh, rumah terpencil dari masyarakat, tidak berdaya, Lorca menjadi lelaki yang tidak punya daya hidup (385-399). Sampai akhirnya, ia ingin kembali ke kampung halamannya, kota kelahirannya, mengira semuanya sudah berubah, dosa-dosanya di masyarakat dilupakan, yag ternyata, semua sangat terbalik kondisinya dari angannya. Mulai detik-deti akhir kehidupan Lorca, justru di tanah kelahiran sendiri (401-)

Pertanyaannya, apakah memang dalam hidup seorang itu perlu manajer dalam hidupnya sehingga bisa mengarungi kehidupan dengan suatu 'kemenangan'? Terbukti Lorca berhasil jadi pemimpin gang justru karena pengaruh Frederico, Martin, dan gagal setelah hanya mendengar kata hati sendiri, bahkan terhadap bujuk rayu serta jeritan Diana, sang istri, pun ia tidak mendengar.

Pada penerbitan di Sinar Harapan sebagai cerita bersambung, semula Sihar Ramses Simatupang memberi judul novelnya ini Lelaki yang Merindukan Sorga, pencarian Lorca terhadap Tuhannya, berawal dari bisik Anna. Dalam Novel yang diterbitkan Penerbit Melibas, judulnya Lorca Memoar Penjahat Tak Dikenal. Dalam memoar sesorang, kita bisa melacak kehidupan seseorang dari banyak sisi. Sisi seseorang mengatur hidupnya, ternyata dibuktikan oleh Sihar di sini tidak lepas dari pengaruh orang lain, yang ikut mempercayai dan dipercayai untuk mengambil suatu kebijakan, langkah bijak.

Walau sebenarnya, Lorca sendiri juga bisa menjadi manajer sukses bagi dirinya sendiri, bila mendengar masukan orang-orang di sekitarnya baik yang bersifat kritik maupun dorongan. Contoh terbesar adalah ia mendengar bisik Anna tentang rumah Tuhan, yang membuat Novel ini justru bisa hadir hanya karena penceritaan seorang suster di rumah Tuhan yang cerdas, yang bercerita kepada Maria, seorang penulis perempuan, anak Lorca sendiri dengan Diana yang menjadi prolog sekaligus epilog Novel yang akan berlanjut dalam sequel berikutnya. *

Tuesday, November 2, 2010

SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN, Maulana Achmad-Inez Dikara-Dedy Tri Riyadi

Judul Buku: Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan
Penulis: Maulana Achmad, Inez Dikara, Dedy T. Riyadi,
Jenis: Kumpulan Puisi
Penerbit: CarangBook
Tahun Cetakan I: 2008
___________________________________

TIDAK SENDIRINYA SEPATU DALAM HUJAN

Oleh: Yonathan Rahardjo, disiarkan pertama kali di milis Apresiasi sastra

Yang pasti ada tiga corak berbeda dalam buku tiga penyair ini. Tidak adil membandingkan seorang penyair dengan penyair lainnya meski dalam buku sama sebab setiap penyair adalah pribadi yang unik sebagai manusia. Maka aku berusaha keras untuk menghayati masing-masing penyair yang ketika tidak kebetulan aku kenal. Dan mereka temanku. Ada peperangan subyektivitas di sini, maka aku mencoba mencari posisi yang pas buatku untuk menuliskan yang terbaik sebagai pemberian seorang teman kepada kawan, dalam arti seimbang.Positif dan negatifnya secara seimbang terutama pada literernya, sehingga aku tidak terjebak pada satu sudut pandang yang kusuka semata.
Langkah pertama pembacaanku tertumpu pada judul buku ini: SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN

Sebagaimana lazimnya buku antologi puisi bersama, acap judul yang dipakai adalah kumpulan judul-judul puisi para penyair yang berantologi. Sebagai contoh yang sangat gampang kuingat buku kumpulan puisi terpilihku bersama A. Badri A.Q.T dan Sihar Ramses Simatupang yang diterbitkan Rumpun Jerami pada 2003 berjudul "Padang Bunga Telanjang" judulnya pun merupakan perpaduan judul-judul puisi kami.

Demikian pula dengan SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN, dari keterangan para penyairnya judul antologi ini merupakan perpaduan judul-judul puisi Maulana Achmad, Inez Dikara dan Dedy Tri Riyadi. Perpaduan judul ini membentuk suatu makna, dan makna ini merupakan makna yang baru. Daku lupa masing-masing penyair diambil judul puisinya yang mana, yang pasti Inez Dikara-lah yang menyumbang kata SENDIRI dari judul puisinya.

Aku berketetapan, mulai dari judul inilah aku memaknai puisi-puisi kawan-kawanku ini, sekaligus sebagai pengenalanku terhadap masing-masing dari mereka. Barangkali pendekatan ini belum pernah dilakukan oleh pembaca lain, dan kini kulakukan untuk memaknai karya-karya dalam buku ini. Logikanya sederhana, pemilihan judul SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN membentuk makna baru yang mewakili ketiga penyair; maka setiap sumbangan judul dari setiap penyair pastilah juga punya makna khusus bahkan juga mewakili diri sang penyairnya.

Setelah kubaca dan kupilah judul-judul tiga penyair ini, sejatinya ada judul yang disumbang satu penyair yang mempunyai kesamaan dengan judul penyair lain, kecuali Inez Dikara yang menyumbang satu judul berbeda tadi.

Dapat kujelaskan dasar pijakanku, puisi sulit dikata tidak mewakili kepribadian penyairnya, bahkan dari kata-kata yang dipilih juga kata dalam judul, akan tampak kepribadian si penyairnya. Belum lagi kata-kata dalam isi puisi itu sendiri. Belum pula bila mengamati puisi-puisi yang ditampilkan para penyair di buku ini lebih merupakan ungkapan perasaan, kilasan kesan, impuls, yang ditulis dalam rentang waktu pendek, sebagaimana umumnya penulis-penulis puisi Indonesia masa ini, dalam arti sangat sedikit penyair yang sampai melakukan riset mendalam guna terciptanya sebuah puisi seperti yang dilakukan Nuruddin Asyhadi.

Penyair dalam buku ini yang menuliskan puisinya dalam rentang waktu pendek adalah Maulana Achmad yang juga mencantumkan tanggal bahkan jam penulisan puisinya. Inez Dikara dan Dedy Tri Riyadi hanya mencantumkan tahun pembuatan, sehingga mengundang pertanyaan apakah puisi-puisi Inez Dikara dan Dedy Tri Riyadi juga berdasar riset seperti puisi Nuruddin.

Kembali pada pemaknaan pribadi yang diwakili dalam judul yang disumbangkan, ternyata kudapati:

Penyair pertama (Maulana Achmad) adalah SEPASANG SEPATU DALAM HUJAN

Penyair kedua adalah (Inez Dikara) SENDIRI

Penyair ketiga adalah (Dedy Tri Riyadi) SEPASANG SEPATU HUJAN

Setidaknya pribadi mereka yang menyatu dalam SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN, masing-masing ternyata adalah SEPASANG SEPATU DALAM HUJAN, lalu SENDIRI, dan SEPASANG SEPATU HUJAN.

Bagaimana secara tajam mengungkap logika ini? Tampaknya setelah organ-organ besarnya tampak, pemaknaan organ-organ besar ini akan sangat dibentuk dengan pengenalan terhadap bagian-bagiannya, organ-organ penyusunnya bahkan sub organ dan elemen-elemennya serta sistem dan fungsi yang menyatukan setiap unsur pembentuk menjadi SEPATU DALAM HUJAN, lalu SENDIRI, dan SEPASANG SEPATU HUJAN dan akhirnya kembali ke suatu pribadi utuh buku SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN.

SEPASANG SEPATU DALAM HUJAN (Maulana Achmad)

Sejatinya adalah gabungan dari 5 (lima) puisi Maulana Achmad:

1. Sepasang Sayapku
2. Kwatrin Sepatu di Luar Masjid
3. Hujan Malam
4. Lelaki yang Menari Dalam Hujan
5. Inilah Hujan

SENDIRI (Inez Dikara)

Sejatinya adalah satu judul Puisi Inez Dikara:

Sendiri

SEPASANG SEPATU HUJAN (Dedy Tri Riyadi)

Sejatinya adalah gabungan dari 5 (lima) puisi Dedy Tri Riyadi:

1. Pesta Sepatu
2. Sepatu Adam dan Hawa
3. Pertanyaan untuk Iklan Sepatu
4. Sepasang Sepatu yang Tertinggal
5. Sajak di Negeri Hujan

Ada perlombaan sepatu dan hujan antara Maulana Achmad dan Dedy Tri Riyadi:

Sepatu Maulana Achmad : 1 (Kwatrin Sepatu di Luar Masjid)
Sepatu Dedy Tri Riyadi: 4 (Pesta Sepatu, Sepatu Adam dan Hawa, Pertanyaan untuk Iklan Sepatu, Sepasang Sepatu yang Tertinggal)

Hujan Maulana Achmad: 3 (Hujan Malam, Lelaki yang Menari Dalam Hujan, Inilah Hujan)
Hujan Dedy Tri Riyadi: 1 (Sajak di Negeri Hujan)

Di sini jelas, SEPASANG SEPATU SENDIRI DALAM HUJAN sebetulnya:
SEPASANG SEPATU adalah Dedy Tri Riyadi
SENDIRI adalah Inez Dikara
DALAM HUJAN adalah Maulana Achmad

Juga dari judul yang langsung kesatuan makna:
SEPASANG SEPATU adalah Dedy Tri Riyadi (Puisi Sepasang Sepatu yang Tertinggal)
SENDIRI adalah Inez Dikara (Puisi Sendiri)
DALAM HUJAN adalah Maulana Achmad (Lelaki yang Menari Dalam Hujan)

Tampaknya pemilihan judul oleh editor (kabarnya oleh TS Pinang) memakai metode yang paling bawah ini.Dengan kata lain, memaknai puisi-puisi yang menunjukkan kepribadian masing-masing penyair sejatinya lagi:

Dedy Tri Riyadi adalah SEPASANG SEPATU
Inez Dikara adalah SENDIRI
Maulana Achmad adalah DALAM HUJAN

Kita asosiasikan dengan pemaknaan yang pertama dengan pemaknaan ini, maka:

Maulana Achmad: SEPASANG SEPATU DALAM HUJAN lebih kuat DALAM HUJAN-nya
Inez Dikara: SENDIRI ya kuat SENDIRI-nya
Dedy Tri Riyadi: SEPASANG SEPATU HUJAN lebih kuat SEPASANG SEPATU-nya

Mari kita memaknai lebih dalam dalam puisi-puisi mereka. Yang pasti dengan berkumpul, meski ada perbedaan, puisi-puisi para penyair ini tidak lagi sepi sendiri, karena sudah melakukan dan dilakukan tafsir antar mereka, suatu bentuk ketidak sendirian. 

CHIMERA, Donny Anggoro



Judul Buku: Chimera
Pengarang: Donny Anggoro
Penerbit: Jalasutra
Jenis: Novel
Cetakan : I, 2008
Ukuran : 12 x 19 cm
ISBN : 979-3684-94-1
__________________

FIKSI ‘FILM LAGA’ AKTIVIS PASCA REFORMASI

Oleh: Yonathan Rahardjo, untuk Donny Anggoro

Chimera adalah karya novel moderen yang terilhami dari film-film laga moderen yang banyak ditayangkan di bioskop 21 dan diulang di televisi. Membaca Chimera terasa bahwa penulisnya adalah maniak penonton film. Adegan-adegan yang ada dalam Chimera mengingatkan pembaca pada semua yang ada di film-film laga itu. Sebutlah tentang kebingungan tokoh yang merasa dirinya adalah orang lain; sebagai penonton film Bourne Identity, penulis merasakan hal tersebut. Demikian juga sebagai penonton film James Bond, dan begitu banyak film laga yang mempunyai stereotipe pergulatan kejar-kejaran dengan mobil, pistol ditembakkan ke mobil di belakangnya, dan bom asap diledakkan. DUAR!!!! Juga pada peledakan Citraksi Laboratories di akhir cerita, sangat terilhami oleh film seperti James Bond yang perlawanan terhadap hal canggih melibatkan laboratorium raksasa.


Donny Anggoro adalah anak jaman ini, maka ilham dari film yang mempengaruhi kesusastraannya sangat sah dan merdeka. Tinggal kepiawaiannya merangkai kata yang menjadi andalan dan pertaruhan pembacaan oleh masyarakat pembaca dan ahli sastra. Juga bagaimana ia sebagai penulis merangkai dengan sejarah bangsanya. Donny mengangkat masalah sesudah kejatuhan rezim pemerintahan yang otoriter masuk masa pemerintahan baru yang harusnya bebas KKN. Jelas ini terilhami oleh rezim Suharto yang jatuh dan masuk masa pemerintahan yang semestinya bersih. Namun tidak rupanya, ada permainan pemerintah Presiden Suryo Laksono yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan membuat ketenangan semu. Begitu banyak bekas aktivis yang vokal dikebiri hak demokrasinya. Mereka disuntik dengan serum pengacau ingatan, Chimera sehingga mereka merasa menjadi orang lain, bahkan penjahat, yang dengan mudah jadi kambing hiam perburuan oleh pemerintah

Tujuannya pembungkaman daya kritis yang bersangkutan agar pemerintah itu kelihatannya tenang, tenang dan tenang. Rupanya semua itu palsu, tak beda dengan pemerintah sebelumnya yang otoriter. Dan peran ilmuwan pencipta Chimera pun dipertaruhkan ada yang idealis dan yang materialis. Maka yang idealis merasa sudah ada pelacuran dunia iptek dengan mengabdi pada pemerintah dengan badan intelijen-nya yang memberi dana besar kepada Citraksi Laboratories. Prof Hasan, berbalik kepada idealisme. Ia yang tahu penyelewengan ilmu untuk kepentingan politik membongkar kebusukan dan kebejatan proyek raksasa ini. Dia yang turut proyek Chimera, hengkang dan bermaksud menggagalkan proyek yang makan korban para aktivis yang diubah memorinya dengan serum Chimera. Gunawan Budi Raharjo, Aldo, adalah nama-nama aktivis yang jadi sasaran dan kelinci percobaan Chimera. Dengan serum Chimera mereka 'disulap' jadi penjahat agar mudah dilenyapkan secara halus. Dan kini Profesor Hasan yang berperan mengembalikan jati diri mereka. Berhadapanlah orang Chimera yang masih setia pada proyek keji pemerintah melawan orang Chimera yang sadar dan membangkang.

Setting pada jaman Indonesia tahun 2020 memungkinkan semua teknologi itu dikembangkan dan terjadi. Namun ada suatu kelemahan terjadi, pada saat Aldo atau Gunawan atau siapa namanya yang dikacaukan ingatannya, ia bingung tentang lambang-lambang huruf Yunani yang aneh, dan tentang nama Chimera sendiri. Untuk mengatasi kebingungan ini mestinya ia dengan mudah mencari jawab. Pada masa Indonesia 2020 yang teknologi sudah begitu maju, ia malah cari-cari jawab dari kamus. Kan mestinya tinggal klik google dan tanya, semua sudah tersedia. Tapi ia malah bingung dan cari di buku kamus atau ensiklopedia, padahal jelas yang ditulis pengarang Chimera adalah kondisi yang ada internet di kantor majalah Inspirasi itu. Jadi kurang tergambarkan suasana dan jaman modern. Tapi gak bisa disalahkan, jaman memang tumpuk-tumpuk kondisi antara yang maju, berkembang dan terbelakang.

Kondisi yang diangkat Donny sebagai latar memang jelas-jelas kondisi Indonesia pada jaman pasca reformasi dan berlanjut masa sesudahnya. Nama-nama yang dipakai orang dalam tokoh di Chimera dengan mudah pembaca tahu siapa yang dimaksud sesungguhnya di Indonesia yang bukan fiksi ini. Sebutlah misalnya di Chimera ada nama pelukis Agung Kliwon, jelas itu adalah diambil dari tokoh pelukis Agus Wage, dan banyak nama lain. Sekali lagi itu adalah sah dan merdeka untuk tulisan kreatif.

Dan Donny sudah merangkai kehidupan nyata di Indonesia dalam dunia Indonesia di fiksinya. Kalau boleh beristilah tinggal mengubah nama, memindahkan kenyataan, menggabung dan merangkai dengan apa yang ada, menjadi suatu dunia fiksi sendiri. Itu memang salah satu metode menulis fiksi, juga fiksi yang ada muatan iptek di mana Chimera sendiri merupakan serum bioteknologi rekayasa genetika. Namun untuk memasukkannya dalam dunia fiksi ilmiah, ia perlu diperkuat lagi, guna mendudukan posisi genre Chimera sebetulnya di mana. Kalau menurut penulis, jelas genre yang paling kuat untuk Chimera adalah genre seperti yang dimaui oleh film-film yang dimaksud awal tulisan ini.

Selamat membaca, dan nikmati pembacaan Chimera. Temukan sendiri kenikmatan membacanya...

TURQUOISE, Titon Rahmawan


Judul Buku: Turquoise : Kisah Sang Singa Perkasa Dari Kohina [Buku Rekomendasi]
Pengarang: Titon Rahmawan
Jenis Buku: Novel
Penerbit: Escaeva
Tahun Cetakan 1: 2007
______________________

Cinta, Persahabatan, Harta dan Rasio Titon

Oleh: Yonathan Rahardjo, Endorsement buku

"Karena cinta, persahabatan jadi sirna. Karena cinta harta, cinta jadi binasa. Karena kalap cinta, rasio tidak bicara. Sang penulis, Titon Rahmawan menuliskannya dengan gaya bertutur yang memainkan perasaan dan hati. Beberapa adegan menampakkan kejutan, secara runtut perlu dibaca dengan cermat untuk mendapatkan efek penggambaran suasana dan peristiwa."
Perkawanan sejak berumur anak-anak tiga pemuda dengan satu gadis harus pecah karena ketiga pemuda memperebutkan sang gadis. Perbedaan derajat ketiga pemuda, tidak menyurutkan cinta Sang gadis, Shrivasthi, dengan pemuda yang paling rendah derajad sosialnya, Husayn. Meski, Si gadis berderajad sosial sama tinggi dengan salah satu pemuda lain, Qadrii, yang juga cinta padanya.


Cinta gadis dengan pemuda paling rendah derajad sosial itu, membawa kisah tragis, melibatkan batu permata Turquoise, pirus, yang diberikan gadis kepada masing-masing pemuda dengan besar belahan yang sama sebagai ganti hadiah dari pemuda yang dicintainya berupa bunga gunung yang didapatkan dalam kemenangan lomba antar tiga pemuda itu.

Husayn dan ayahnya yang penjaga kuda diusir dari rumah Shrivasthi, namun ditolong oleh pemuda ke dua, Hasyim, untuk menjadi prajurit. Kisah-kisah melibatkan penyamun-penyamun kota yang berhasil dibunuh Husyain hingga gembongnya dan penyihir. Husayn dan Hasyim menjadi satria yang melawan mereka. Padahal, perampok tadi dibayar 30 ekor kuda oleh Qadrii untuk membunuh orang tua Shrivasthi, setelah gadia ini mati tenggelam di danau untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman Qadrii.

Kisah di masyarakat padang gurun Timur Tengah mengandung nilai-nilai keadilan sosial yang diperjuangkan oleh Husayn, yang membela masyarakat kampungnya yang miskin sementara dalam kemelaratan mereka keluarga Qadrii bergelimang kemewahan!

Husayn pulang kampung, mendapat mimpi ditemui arwah Shrivasthi yang menunjukkan kematiannya disebabkan oleh qadrii, dan ia minta balas dendam. Pemuda ini terlecut untuk membunuh Qadrii dan dilakukannya, namun tergagalkan oleh bangunnya Qadrii mengundang semua pengawalnya termasuk teman main Husayn waktu kecil yang menjadi pengawal Qadrii.

Pembunuhan yang gagal mengundang hadirnya Kepala Polisi yang ternyata Hasyim, sahabatnya sendiri. Berkat batu Turquoise, yang terkalungkan di leher Qadrii yang jumlahnya ada dua, Hasyim pun menduga kematian Shrivasthi oleh karena ulah Qadrii. Namun Hasyim harus menegakkan hukum, sementara bukti-bukti pembunuhan oleh Hasyim yang menyebabkan kematian Shrivasthi tidak jelas.

Hidup Husayn berakhir di tangan Hasyim yang mewasiatkan batu Turquoise harus disimpannya, sebagai tanda paling bersejarah tentang persahabatan mereka berempat yang berakhir tragis.

Karena cinta, persahabatan jadi sirna. Karena cinta harta, cinta jadi binasa. Karena kalap cinta, rasio tidak bicara. Sang penulis, Titon Rahmawan menuliskannya dengan gaya bertutur yang memainkan perasaan, hati, beberapa adegan menampakkan kejutan, secara runtut perlu dibaca dengan cermat untuk mendapatkan efek penggambaran suasana dan peristiwa.

Pengisahan dengan bertutur memang diawali dengan cerita kakek tua, Hasyim, kepada anak-anak, tentang masa lalunya bersama tiga sahabatnya itu, mengalir ke kisah demi kisah itu, dan diakhiri dengan petuah juga oleh Hasyim tua kepada anak-anak untuk mengambil intisari moral cerita, yang tentu untuk semua pembaca dari berbagai kalangan. 

Monday, November 1, 2010

KEMBANG KERTAS, Kurniasih


Judul Buku: Kembang Kertas
Penulis : Kurniasih
Penerbit: Jalasutra
Tahun Cetakan 1: 2005
Tebal: 200 halaman
_______________________

DENYUT KEMBANG KERTAS

Oleh: Yonathan Rahardjo, Materi Bedah Buku di Meja Budaya, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 2005

Ketika ia membaca kisah Ishak dan Ribkah, jadilah itu ilham baginya untuk memercikkan gelisah-gelisah yang berpijar dari dalam dirinya, ia tuliskan dengan rinci dan bebas warna-warni, membuat kisah perempuan penimba air sumur dan lelaki penunggang unta peminta air untuk hewan kesayangannya itu menjadi punya sudut gelitik, sisi gelisah, rajutan benang cerita yang punya kedalaman sendiri, menelisik ke dalam, memberi penafsiran dan pengkisahan kisah nabi ini lain dari cerita baku yang permukaan. (Cerpen Pasal Kasih, h 181)

Ketika ia telah menuliskan lamunan, kebingungan pikiran dan tafsir-tafsir rasa secara subektif dan jujur seperti yang dirasakannya, dan pembaca membaca cerita-cerita itu, pengucapan dan penceritaannya seperti air yang selalu mencari tempat yang lebih rendah, mencumbu apapun yang ditemui, agar selalu mengalir, selalu ada celah dan kemauan untuknya mengalir, lebih baik begitu daripada kata-kata sulit mewakili
kebimbangan, kegalauan, rasa gulana, gembira, derita, saratnya masalah keberadaan atau eksistensi diri, agar yang terasa dan berlompatan tak karuan dalam alam sadar dan alam bawah sadar itu tidak terhambat melompat-lompat, menderu dan menggelora tak karuan dengan tenaga dahsyat yang mampu mendobrak dan menggebrak, perilaku fisik dalam wujud kekerasan, digantinya dengan kelembutan dan pencarian keseimbangan dalam pusaran hembusan udara angin bingung dan tanya.

Ia, Kurniasih, dalam 13 cerpen yang dikumpulkan dengan mengambil salah satu judul cerpen, Kembang Kertas (h 63), sebagai judul buku, punya terapi baik dengan pencegahan maupun penyembuhan terhadap problem-problem emosi, keliaran pikiran dan perasaan yang bila tidak ketemu jalan keluarnya bisa mencipta penyakit-penyakit kejiwaan, stres, dan mental atau menjelma kekerasan seperti yang terjadi pada bangsa ini yang karena keterbatasan cara ucap, peristilihan dan tata bahasa gagap mengungkap isi hati sehingga cenderung mempunyai kecerdasan kriminal tinggi di samping kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual yang juga relatif tinggi, yang karena keempatnya saling tarik-menarik tak keruan memaksa menarik hidup bangsa ini penuh dengan tarikan kutub perilaku yang berseberangan dalam arti sebenarnya, dalam kondisi disebut bangsa beragama yang menjunjung tinggi nilai-nilai syariat termasuk sok anti umbar taurat juga sekaligus bangsa dengan angka kejahatan korupsi nomor empat paling tinggi di dunia, tak peduli kemiskinan sesama manusia dan terbukti bangsa dengan kriminalitas perusak lingkungan paling tinggi pula dengan akibat dalam musim hujan sehari-hari tak mampu lagi mencegah diri dari tanah longsor dan banjir makan korban di mana-mana.

Model terapi yang muncul dari dalam diri sendiri adalah gumaman, luncuran perasaan dan pendapat, impuls-impuls yang berdenyut, menari-nari seperti tak karuan namun bila digabung-gabungkan merupakan kata-kata, frase baru, kalimat baru (contoh: Bibirku mencari-cari benda dingin, h 151, dan Aku pulang dari lamunanku yang melingkar-lingkar, h 152, dalam Cerpen Cecilia h 143) yang punya makna dan kedalaman baru, memperkaya cara ungkap dengan tarikan-tarikan pena metafora berbaur dan bercumbu rayu dengan kenyataan atau realitas, bebas, mengalir dan terus mengalir, panjang dan terus berjalan, menggumam dan melamun warna-warni, dari satu obyek ke obyek lain baik obyek pelaku, obyek penyerta maupun obyek penderita (lihat obyek-obyek Loreda, Isa, Maryam, langit, medusa, Tabik dalam Cerpen Tabik Loreda, h 55) dari satu predikat ke predikat lain, dari satu keterangan ke keterangan lain, dari satu opini ke opini lain, antara lukisan suasana, paparan, narasi maupun, pada satu cerpen tanpa tanda baca kecuali titik dan koma (Cerpen Menara h 103),  yang pada  semua dari satu mulut pencerita, aku, yang sekaligus menjadi subyek, yang selalu menggumam dan hanya berhenti ketika cerita diakhiri dengan tempat dan tanggal penulisan entah cerita itu berakhir melambung, melayang, yang rata-rata terbuka dan untuk tahu dan mengerti jalinan cerita itu dengan makna dan pengertian menancap dalam akal, benak, ingatan cerita sederhana memaksa pembaca harus membaca ulang cerita, meski saat pembacaan pertama terasa denyut-denyut kisah yang mengelus-elus rasa yang tak kelihatan dari kisah-kisah yang diangkat dari pengalaman atau suasana atau keadaan yang perempuan ini temui dengan pengembangan-pengembangan dengan apapun yang bisa digabung, dan perasaan-perasaan yang muncul, kegelisahan, kegalauan, dan kebingungan, pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban sementara dan terus mencari tempat untuk suatu jawab yang tak mesti bukan suatu tanya lagi, terus mencari dan mencari suatu makna yang bagi kedamaian dalam diri penulis ini yang bisa mudah dimengerti dan dihayati pembaca terutama yang punya kisah-kisah sumber ide cerita sama baik dalam kesendirian, kesepian, kesunyian (Cerpen Anak Kesunyian, h 92) dari pertemuan dengan cahaya alam dengan beragam ‘musim’, tempat dan pe ngalaman sama (mampir ke Mc Donald dalam Cerpen Mouli h160) suasana kisah dalam pergaulan dan persenggolan-persenggolan dengan kerumunan manusia-manusia lain, maupun dari tontonan dan cerita-cerita atau bacaan-bacaan penulis tak terkecuali dari pembacaan kisah-kisah suci nabi-nabi di awal tulisan ini.* (RESENSI-BUKU MAJAS)

TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965-2005, Sastra Pembebasan


Judul Buku: Tragedi Kemanusiaan 1965-2005
Penulis: 37 orang
Editor: Heri Latief-Ratih Miryanti-Daniel Mahendra
Jenis: Kumpulan Cerpen dan Puisi
Penerbit: Malka-Sastra Pembebasan
Tahun: 2005
____________________________

BEDAHLAH, KENANGANMU TAKKAN PERNAH HILANG

Oleh: Yonathan Rahardjo, Materi Bedah Buku di Galeri Cipta 3 Taman Ismail Marzuki Jakarta, 2005
Apa yang mau dikatakan untuk membedah buku setebal 350 halaman, berisi 12 cerpen, 16 curhat, 7 esai, 11 puisi, diapit semacam prolog dan satu epilog, ditulis oleh 37 penulis yang terserak, tersebar tempat di belahan-belahan bumi yang berbeda, dengan kehidupan berbeda, dengan pengalaman berbeda, dengan latar belakang berbeda, dengan umur-umur generasi yang tidak sama yang lahir terbelah dua bagian, sebelum 1965 dan sebagian sesudah tahun 1965, saat tragedi di tahun 1965 ini menyatukan perasaan, nasib, hati, kepedulian, kemanusiaan dan kegelisahan para manusia-manusia yang telah menulis karya-karya ini?

Bisakah dan untuk apa pisau bedah paling tajam mengiris, memotong, menguak, menguliti, memilah mengidentifikasi setiap kata, frasa, kalimat, paragraf dan bangunan utuh tulisan yang merupakan pembuluh darah, darah, anatomi, organ, sistem organ, nafas, rasa dan jiwa serta roh hidup manusia-manusia yang wujud, sosok, dan kehadirannya adalah cermin dari tubuh, pribadi, dan kemanusiaan kita sendiri?

Sungguh, para penulis ini punya suatu pesan yang hendak disampaikan, suatu denyut nadi yang telah diputus, detak jantung yang tak didengar, suara yang dibisukan, nurani yang dibutakan, memori yang disesatkan, cinta yang tlah dicampak dan dipisah, kasih yang tlah dibakar, sayang yang dihancurkan, dalam satu periode sangat gelap yang untuk meraba dan menjalar saja tangan dan kaki mereka harus berbenturan dengan senapan besi keras, leher putus dan tubuh mati, nyawa tidak kembali:

“Arloji itu bagi bunda seperti batu nisan,” tulis Ragil Nugroho tentang ingatan ibu tokoh Cerpen Arloji terhadap ayahnya yang pada tahun 1965 digaruk Koramil dan tak kembali sampai 40 tahun sampai entah kapan.

“Jangan berkata-kata lagi Klara. Menangis sajalah, karena air mata kita kali ini akan menghanyutkan segala duka nestapa yang pernah kita alami,” pasrah tokoh Ex Tapol tulisan T Iskandar AS dalam Cinta yang Memandang ke Depan yang untuk menjadi tukang sapu dan tukang sampah saja susah, karena diperlukan surat keterangan bebas G30S”, apalagi menjadi istri ‘gadis baik-baik saja’.

‘Dari mulut ke mulut,.... entah pada turunan ke berapa, kisah tentang tapol eyang Kusumo ini akan berakhir untuk mereka riwayatkan,’ tulis Sihar Ramses Simatupang dalam Cerpen Dunia di dalam Jeruji Penjara.

‘Di layar televisi tampak berjejer para veteran dengan topi kuningnya dan lencana-lencana jasa menghias dadanya. Wayah Dalang masih terus mengusap air matanya yang meleleh. “Duh kenapa aku harus menyaksikan ini? Kenapa aku tidak segera mati?”’ tulis Putu Oka Sukanta tentang tokoh Cerpen Ia Menangis di depan Televisi.

‘Sampai pada tahun 80 an, ketika berkesempatan berkunjung kembali ke desa bawah bukit itu lagi, aku mendengar cerita ini langsung dari mulut Lek Kuntet sendiri,’ tulis Petra Dipantara dalam Cerpen Lek Kuntet yang tahun 1965 masih belum genap berumur 12, tahun 1967 dituduh anggota Lekra, ditahan, wajib lapor sampai tahun 1970-an.

Yang membuat ingatan tak bisa lepas dari peristiwa yang dialami para tokoh cerita dalam

Antologi jelas, kejadian itu adalah suatu fakta, nyata, bukan sekedar fakta di pikiran, tapi fakta yang menggores kulit berdarah, jantung ambrol, menyedot mata pencaharian, menderitakan hidup, mencabut hak-hak hidup. Meski, ruang dan waktu dipagar tembok sangat tinggi agar yang menguasai segala kesadaran adalah yang dimaui penguasa, pemerintah, militer:

‘Murni merah, jiwa, kebenaran. Bukan merah darah yang menggenangi mata sehingga terkaburkan semua pandangan mata dan akal sehatnya. Meski dalam genangan merah darah ini terbukti ayah bundanya tetap bisa bertahan dikepung Golkar kuning dan Golkar merah,’ tulis Yonathan Rahardjo tentang tokoh anak korban tragedi 1965 dalam Cerpen Merah Lurus Merah Liku.

‘Apakah dunia sudah akan berakhir? Kekejaman terjadi di mana-mana. Anak-anak kehilangan orang tua, orangtua kehilangan anak-anak, isteri kehilangan suami, suami kehilangan istri, adik kehilangan kakak, dan kakak kehilangan adik. Pembantaian kian marak…. Situasi makin mencekam. Mbah Putri selalu menasihati “Teguh cekelan waton”,’ tulis Utji Kowati Fauzia dalam Cerpen Natal Kelabu.

Melalui proses perkembangan perkawananku dengan aktivis politik yang diberi status oleh pemerintah setempat sebagai ‘Pelarian Politik’ itu, kemudian kusadari bahwasanya hasil pendidikan di bawah sistem pemerintahan rejim Soeharto ternyata semuanya bermakna kebohongan dan pembodohan bagi bangsanya,’ tulis MiRa dalam Cerpen Patty tiba…

‘Cipinang! Ya, gerbang pintu penjara Cipinang! Saat-saat di mana aku dan ibu harus menunggu giliran untuk menengok ayah. Seorang gadis muda selalu berdiri di seberang kami. Dengan pandangan dan senyumnya yang lembut itu. Seolah-olah ingin mengatakan padaku, jangan takut adikku, semua akan berlalu dan hari akan lebih baik… Ah, kenangan yang takkan hilang, betapapun besar usaha buat menghapusnya,’ tulis Satyaning dalam Cerpen Perjalanan.

Namun astaga! Kenangan-kenangan yang disimpan sesama manusia yang sama-sama manusia ternyata bisa dipandang dengan tatap mata berbeda oleh manusia-manusia lain yang sama-sama manusia. Terhadap kenangan fakta pembantaian, lihatlah cara manusia lain ini melihatnya:

‘Sungai di belakang rumah kami yang membujur sepanjang desa, telah dilindungi negara, dan telah resmi menjadi Musium Bersejarah, juga dijadikan obyek wisata, di mana tempat wisata ini merupakan tempat terjadinya tragedi berdarah dari Gerakan 30 September tahun 1965 dengan ditandai monumen berupa gerbong Kereta Api “Kertopati”. Dan gerbong tersebut dijadikan sebagai simbol, yang digunakan untuk mengangkut para korban keganasan PKI,’ tulis Aguk Irawan MN dalam Cerpen Sungai yang Memerah.

‘… bulan depan Bu Er akan pergi ke tanah suci. Lengkaplah sudah apa yang didamba Bu Er, tak dipedulikannyalagi bisikan “Gerwani itu sudah Taubatan Nasuha”,’ tulis Septi Wulandari dalam Cerpen Tuhan Punya Rencana.

Siapakah kamu manusia? Sehingga menjadi hakim atas sesamamu manusia? Tidakkah ada sehelai kesadaran pada dirimu bilamana mata yang tidak kelihatan yang mengawasi dan tahu seluruh seluk-beluk dan tingkah-laku-polahmu menuliskan tentang dirimu sendiri masuk dalam cerita-cerita sedih itu? Dan kamu ditempatkan di situ karena di situ sejatinya kamu pun ada, bahkan ikut merubah warna sejarah karena ada sesuatu yang hati nuranimu sendiri tahu itu salah. Wahai, pihak-pihak yang telah merubah arah sejarah, kembalilah ke masa lalumu, kau temukan di situ ada kamu, akankah bila itu diubah kamu tetap merasa benar? Bahagiakah kamu dengan akibat tangan-tangan berdarahmu?

‘…”Lu, mau ngarang cerita masa muda lu. Mbongkar rahasia pribadi, ya?”… “Lu juga masuk di dalamnya!”……’ tulis A Kohar Ibrahim dalam Cerpen Yang Mencintai Cinta.

Bedahlah! Kenanganmu tidak akan pernah hilang. Bedahlah dan bukankah semua kenangan itu, sodorkan pada manusia-manusia yang lain, yang telah menutup mata menutup hati terhadap peristiwa itu, mengunci diri dalam ketakutan berdindingkan kenyamanan pembangunan. Katakan, katakan pada sesamamu manusia, bukakan mata sesamamu manusia, bukakan mata hati mereka: buka. Kenangan mereka pun tak akan hilang, biar jadi teman kenangananmu.

Tidak kau rasakankah pandangan dari bola mata bening Ilham Aidit anak Aidit yang
dipandang lain oleh rezim Orde Baru tentang Aidit, yang kala itu masih kecil dalam Curhat Bening Kaca di Bola Mata?

Tidak tahukah kau sesungguhnya kehidupan Arira, anak yang ibu dan ayahnya yang pejuang kemerdekaan 45 dituduh sebagai pengkhianat bangsa dan dipenjara seumur hidup dan martabat keluarga sampai saat ini masih dinista dan dicerca oleh warisan sistim kekuasaan pemerintahan rezim militeristik Soeharto, dalam Curhat Cerita untuk Cucu-cucuku?

Tidak tersentuhkah kau terhadap Derita Tuti Martoyo yang ayahnya diciduk, disiksa dan mesti berjuang hidup dengan kesetiakawanannya dalam Curhat Deritaku-Kesetiawananku?

Tidak sama pendapatmu dengan Tari dalam Curhat Forty Years On yang menyuarakan kepergian mencari kesempatan yang lebih baik akibat tragedi 1965 tak akan pernah membuatnya melupakan dan mencintai Indonesia?

Tidak tahukah kau horor tak hanya mencekam Jenderal-Jenderal tapi juga ayah-bunda keluarga Omie Lubis dalam Curhat Horor Menjelang Subuh, Tragedi 65?

Tidak harukah kau terhadap pengakuan bangga sebagai bangsa Indonesia dua anak Mawie Ananta Jonie korban tragedi kemanusiaan dalam Curhat Kami Bangsa Indonesia?
Tidak terguncangkan kau terhadap Curhat Chiko Kisah Bogi, Beny dan Wawan yang tidak mau berbagi rasa, terbelakang mentalnya, apatis, karena trauma tak kuasa bersuara, menyuarakan kekejaman sebuah rezim yang zalim?

Tidakkah kau malu bahwa perubahan setapak demi setapak terhadap nasib para korban tragedi kemanusiaan dikatakan semua ini berkat perjuangan dan usaha Amnesty International dan badan-badan internasional lainnya yang tak henti-hentinya berusaha untuk membebaskan para Tapol demi penegakan HAM dalam curhat Hartinah Sareko Kisah Nyata Tragedi 30 September?

Tidak punya air matakah kau tahu seorang Iramani.id yang masih anak menyaksikan sendiri derita lelaki, perempuan dan keluarganya dalam penyiksaan tentara dalam Curhat Kodim,1966? Tidak bisa menangiskah kau melihat Svetlana seorang anak kehilangan ibunya yang ditahan paksa pindah-pindah Semarang, Jakarta dan Platungan, dalam Curhat Mama Tak Pernah Menangis?

Tidak terketuk nuranimukah pada kisah Mario yang kehilangan adik tanpa kubur pada Curhat Mengenang Adiku yang Sudah Tiada? Tidak merasa kehilangankah kau dengan berpulangnya pendidik yang tersingkir ke luar negeri namun tetap berdarah-darah memperjuangkan hak azasi manusia Indonesia korban pesta penggulingan pemerintahan Orba dalam Curhat Tom Iljas Mengenang DR Sophian Walujo?

Tidak miriskah hatimu kehilangan ayah yang dibantai bersama kawan-kawannya dengan kubur misterius seperti Pringgo Widagdo dalam Curhat Namaku Pringgo Seperti Ayahku?

Tidak gelisahkah kamu tahu para korban di luar negeri seperti orang tua Fajar Sitepu tak bisa kembali ke tanah air sendiri karena tragedi berdarah itu dalam Curhat Korban Teror Suharto?

Tidak tergerakkah kemauanmu untuk mendukung perjuangan kaum terkorbankan itu seperti kesadaran berkesenian Madia Patra dalam Curhat Salam Gelisah dari Balik Kemuraman?

Tidak gelisahkah kamu mengetahui perempuan Indraningrum selalu gelisah mencari kebenaran dan tidak pernah bertemu dengan ayahnya yang hilang sejak tragedi itu dalam Curhat Sebuah Wajah?

Kau boleh bersilat kata untuk membela kebenaranmu, namun kenangan-kenangan itu adalah kenangan abadi yang akan tetap menuntunmu pada kejernihan hati dan pikiranmu. Pada banyak bidang. Pada banyak hal. Pada banyak perkara. Pada banyak cita-citamu untuk menjadi manusia yang bermartabat, yang kau gaung-gaungkan dengan segenap kemuliaanmu, meski itu berbalutkan campuran darah, derita, air mata dan kematian.

Kau akan temukan jawaban atas kekacauanmu. Karena kekacauan pada dirimu adalah kekacauan fakta. Buka kenanganmu, luruskan faktamu, tidakkah kau akan punya pandangan lain tentang faktamu dengan Esai Nadir Attar Membengarus Buku sastra, Atas Nama Keamanan dan Ketertiban Umum?

Kau akan temukan jawaban kekacauanmu. Bukankah kekacauanmu adalah kekacauan fakta? Siapakah fakta di balik tragedi yang merenggut rampas nyawa-nyawa manusia-manusia saudara-saudaramu sendiri itu? Buka kenanganmu, cari faktamu dengan Esai Eep Saefulloh

Fatah Mencari Dalang Gerakan 30 September 1965 (Urgensi Rekonstruksi Sejarah Kita).
Kau akan temukan jawaban kekacauanmu. Bukankah kekacauanmu adalah kekacauan fakta? Kau adalah gadis dengan tahi lalat manis, kenapa harus kau cungkil ia dalam Esai Ferren Bianca Mencurigai Tahi Lalat: Apa? Kenapa?

Kau akan temukan jawaban kekacauanmu. Bukankah kekacauanmu adalah kekacauan fakta?

Bedah kenanganmu. Kenanganmu tak akan hilang, bahkan kau akan temukan faktanya dengan Esai Fransisca Fanggidaej Penilaian Terhadap Masakini atas Dasar Pengalamanku Masalampau.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu, kau akan katakan bahwa hal ini benar tentang negeri yang menembok kenanganmu ini, seperti yang Heri Latief puisikan Kolam Susu Racun Madu, Kepercayaan terhadap Ilmu Sesat Ide Pembodohan, dan bahwa Kemerdekaan itu Bukan Kado.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai Buru (di Pulau) puisinya Yonathan Rahardjo. Nyata benar kenangan dalam puisi-puisi Bayu Abdinegoro (Narcxist) Catatan Harian dan Mbaca Lagi Buku Catatan Sejarah.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai Buru 1971 (1) 1971 (2) Amarzan Ismail Hamid.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai puisi Prahara 1965 Zeta Rosa. Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai puisi Fadjar Sitepu Satir Budaya.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai puisi Daniel Mahendra Surat untuk Maemunah.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai suatu keyakinan Pramoedya Ananta Toer Setelah 40 Tahun, Tuntutan itu Harus Tetap Dilakukan.

Bedah kenanganmu! Kau akan temui, kenanganmu tidak akan pernah hilang. Bertemulah dengan para korban dalam kenangan, hai para penikmat tragedi kemanusiaan 1965. Maka kau akan memandang secara seimbang dan benar terhadap tragedi kemanusiaan yang telah menyesatkan kebangsaan dan kemanusiaanmu. *

BI GAYAH SAMBALNYA MMMM...M, Rahmat Ali



Judul Buku: Bi Gayah sambalnya Hmmm...
Pengarang: Rahmat Ali
Jenis: Kumpulan Cerpen dan Puisi
 Penerbit: MAJAS
Tahun: 2005

____________________________

POTRET JELI PEMBESAR NYALI, ESAI TERHADAP CERPEN DAN PUISI RAHMAT ALI

 Oleh: Yonathan Rahardjo, Pengantar buku

CERPEN RAHMAT ALI

Cerpen-cerpen Rahmat Ali adalah potret jeli setiap kehidupan kita sehari-hari. Membaca cerita-ceritanya, membuka mata dan hati pembaca untuk mengerti dan menyelami, setidaknya mencicipi apa-apa yang terjadi pada hampir setiap 'profesi' serta 'gaya dan problem hidup' sosok-sosok yang ada di sekitar kita, yang barangkali tidak semua orang bisa mendalami bagaimana liku-liku hidup rata-rata 'orang kecil' yang banyak dipotret Rahmat Ali dalam cerita-ceritanya. Lihat sosok tukang cukur (cerpen 'Sebuah Gambar di Ruangan Tukang Cukur'), pembantu rumah tangga ('Bi Gayah Sambalnya Mmm…m'), kopral tentara ('Narto'), tukang pijat ('Jenny').

Beranjak dari latar belakang geografis cerita sehari-hari di perkotaan semacam itu, ada nilai lebih dari cerita-cerita Rahmat Ali yang suka melancong, melintasi segala waktu dan tempat yang mendorongnya seperti memasuki lorong, tegak maupun condong, lurus maupun doyong, sedari lepas dari gendongan sampai menjadi seorang pamong yang pantas tinggal dalam gedong, Rahmat Ali telah menunjukkan kelasnya sebagai seorang penulis yang membuat semua yang terekam dalam benaknya adalah daya dorong kuat untuk menuliskan kisah-kisah nyata maupun imajinasi bukti dunia tulis-menulis adalah dunia sangat luas tiada aral melintang dapat jadi penghalang dan pemotong sikap total dalam menggeluti cerita hidup bak tak terbatas sepanjang-panjangnya lorong.

Tak berlebihan, tulis-tulisan Rahmat Ali adalah cermin dari apa yang direkam dalam setiap jejak kakinya, kebetulan saya tahu sedikit biografinya sekalipun untuk membuat bahasan tulisannya saya semata-mata berusaha lebih pada teks, bukan pada sosok penulis. Teks Rahmat Ali lah yang berbicara tentang kenyataan itu, banyak tempat yang ditulis dalam cerpen-cerpennya adalah tempat yang sangat variatif, mulai dari metropolitan padat dan sesak dengan segala kehidupan bergaya modern sampai tulisan di pelosok-pelosok sepi hanya penuh dengan kesendirian dan hanya bisa dijangkau dalam alam imajinasi ataupun daerah itu bisa dikunjungi sangatlah jarang orang ke sana karena tempatnya yang relatif terpelosok atau terpencil.

Terasa aromanya, yang ditulis Rahmat Ali kebanyakan adalah kisah-kisah nyatanya, entah itu ia sendiri yang mengalami atau orang-orang yang dijumpai di segala macam tempat itu, dan diselingi dengan tulisan-tulisan fiktif imajinatif. Pengarang ini sangat jeli mengamati apapun yang ada dan menarik perhatiannya. Apapun itu bisa jadi tulisan lancar. Seorang yang jarang mengamati atau 'membaca' lingkungan bisa menjadi mengerti bahwa lingkungan, apapun itu wujudnya, banyak menyimpan 'bahan bacaan'. Hal ini sangat tergambar dari judul-judul karangan penulis ini yang dengan segera akan dapat ditangkap apa yang bakal diceritakannya, benda sepatu, mesintik, lori, jaran kepang, sosok-sosok orang, dan rata-rata mengambil judul sosok sebagai subyek cerita yang akan dibahas, dan kadang-kadang bercerita tentang masalah sebagai subyek (‘Akibat Lepasnya Dasamuka’).

Barangkali memang benar anggapan bahwa seorang seniman adalah seorang yang suka hal yang detil, berbeda dengan orang 'lumrah', maka apapun diurai Rahmat Ali secara detil tadi. Terlihat, cerpen-cerpen Rahmat Ali juga diilhami oleh legenda-legenda rakyat terutama yang daerahnya ia kunjungi, dengan prinsip di mana tinggal atau berkunjung di suatu daerah, tulis yang kau jumpai! Lihatlah misalnya cerpen 'Jantuk' (Betawi), 'Moko Yang Terpanah' (NTT), 'Akibat Lepasnya Dasamuka' (Jawa), 'Bertemu Hang Tuah' (Sumatera), 'Krakatau, Krakatau' (Jawa-Sumatera), 'Gelombang Nyai Roro Kidul' (Jawa).

Tidak terpana pada kisah legenda dengan narasi baku, seringkali kisah rakyat itu harus menghadapi kekininan jaman, dan Rahmat Ali berhasil memadukannya dengan kebutuhan dan kondisi jaman saat tulisan itu dibuat ('Jaran Kepang', tradisional Jawa di dunia metropolitan). Rahmat Ali tampaknya mau tak mau mengaitkannya dengan hal-hal yang berbau mistik, magis, yang menghubungkan dunia nyata dalam ceritanya yang memang bergenre besar realistik dengan hal-hal yang mistik, surealis, tapi tak sampai menyeret tulisan Rahmat Ali bergenre surealis. Perpaduan realis dan mistis itu tampak dalam cerita-cerita dalam aliena ini, juga cerita yang menyoal langsung hal mistik seperti 'Kiriman dari Jauh' (maksudnya santet).

Yang tak dilupakan para pengarang biasanya menulis tentang dunia fabel, di mana binatang diceritakan bisa bertingkah dan hidup seperti manusia, dalam tatanan kehidupan masyarakat sebagaimana halnya manusia ('Sungut Sang Prabu Terlalu Panjang') atau setidaknya kalaupun hidup dalam situasi yang tetap dalam lingkungan hewan, mereka bisa berkata-kata dan bercerita tentang diri mereka ('Aku Seekor Merak').

Cerpen-cerpen Rahmat Ali didominasi dengan cara penulisan alur maju, dan sangat jarang memakai alur mundur, yang kadang hanya dilakukan untuk suatu kisah di masa lalu yang terkait dengan kondisi sang tokoh cerita saat itu, dalam pikiran, dalam percakapan, dan bukan dalam alur-alur utama cerita. Salah satu keuntungan besar dengan cara tradisional beralur maju ini adalah cerita menjadi mudah dicerna dan diikuti, tidak memerlukan banyak kebutuhan untuk mengotak-atik cerita dan membolak-balik halaman-halaman cerita bahkan membuat pohon cerita seperti yang begitu dibutuhkan dalam mencermati cerita-cerita moderen saat ini yang cenderung mencoba segala teknik yang baru termasuk teknik mozaik yang terfragmentasi satu sama lain.

Dalam penuturan cerita, dialog-dialog dibuat Rahmat Ali secara kental dan mengalir, namun lebih banyak dipaparkan melalui narasi di mana dialah sebagai penulis yang dominan menuturkan dan untuk menghindari terkesan cerita monolog ia memakai penggambaran dengan tokoh utama aku; yang acap dilakukan banyak pengarang, selain teknik tradisional masing-masing tokoh diceritakan sendiri-sendiri dengan satu tokoh utama dikelilingi tokoh-tokoh pendamping. Deskripsi yang dibuat Rahmat Ali meluas, meliuk dan kadang menyentak.

Adapun lukisan suasana yang dibuat terkesan kurang menggambarkan suasana secara memuaskan, karena seolah tuntutan cerita cepat mengalir dari satu kisah atau problem ke problem lain; karena kekuatan Rahmat Ali memang di sini, problem-problem itu dibahas cepat, sementara soal tuntas tidaknya masih bisa ditelaah lebih jauh lagi. Yang sangat terasa tuntasnya problem tanpa ‘doping’ pencepat alur cerita antara lain dalam cerita 'Dialog Membisu' yang menyoal kehidupan tiga anak manja atau kalah perang dalam hidup.

Rahmat Ali menuliskan semua lincah dan lancar, dengan gaya bahasa lugas mengalir menabrak batu cadas, dengan berani menggunakan ungkapan-ungkapan yang kadang melabrak kelaziman berbahasa dengan kata-kata mandiri seperti fisik menjadi pisik, bahkan kata pembunyian langsung menjadi kata kerja seperti didordordor untuk mengungkap ditembak yang tentu mengeluarkan bunyi itu, cuat-cuit terus mendesing (dalam 'Dialog Membisu'), mendokdokdok ('Jangan Ganggu') byar-byur-byar-byur, berkelontang-kelontang ('Kopi O, Kopi Goni, Teh Obeng, Mi Lendir dan Truk Dinosaurus').

Rahmat Ali juga tak lupa menggunakan kata-kata bahasa Jawa yang tampaknya menjadi bahasa ibu-nya yang mewarnai gaya bahasa bahkan detil kata ceritanya; aleman (artinya suka manja), mangkel (jengkel), trenyuh (terharu), unggah-ungguh (sopan santun) dalam cerpen 'Musim Bunga, magrong-magrong (besar megah) dalam cerpen 'Saat Tidak di Rumah'. Dia juga tidak segan-segan memasukkan istilah-istilah serapan baru dalam rumpun kalimatnya yang mungkin bagi orang tertentu mudah mengerti tapi bagi kebanyakan orang mesti berpikir agak lebih keras karena istilah ini bukan istilah yang lazim dalam penggunaan kalimat mengalir seperti itu. Entah apakah keterbatasan tempat pada suatu cerita pendek yang membuat Rahmat Ali pada beberapa karangannya mengakhiri cerita dengan hal-hal gaib, sirna, kembali ke alam, atau hal-hal semacam itu yang membuat konflik cerita menjadi begitu mudah berakhir, yang tentu saja mempengaruhi rasa dalam pembacaan.

Pada kebanyakan cerita yang demikian penuturan Rahmat Ali sebagai penceritalah yang dominan mengarahkan jalan cerita. Apa-apa menjadi begitu mudah diarahkan, tidak dibiarkan terus larut dalam konflik. Namun jelas cerita Rahmat Ali sangat kaya dari segi tema, karena apapun di tangan Rahmat Ali bisa menjadi cerita, yang patut dibaca siapapun suka mempedulikan kehidupan. Memperbesar nyali untuk merekam dan memaknai kehidupan, apapun akhirnya, apapun tamatnya, apapun selesainya, apapun ceritanya.

1. Musim Bunga (1960): Rahmat Ali memakai metafora tentang musim di mana hati berbunga seperti munculnya bunga di taman dan lembah indah. Cinta aku terhadap gadis yang dikenalnya saat pertemuan keluarga bersemi dan berwujud keindahan percintaan selama mereka masih satu kota. Begitu mereka harus berpisah yang ada adalah rindu dan si aku mesti melakukan sesuatu untuk keluarganya. Perhatian pada ibunya sering bertolak belakang dengan keinginannya untuk melakukan ekspresi kreatif seorang anak muda. Dan, itu berujung pada bagaimana aku harus mengambil keputusan untuk meninggalkan ibunya karena gadis yang telah membuat hatinya berbunga-bunga mengirimkan surat dari jauh yang mendorongnya untuk menemui si gadis dan meninggalkan ibu tercinta.

2. Laila, Istri Paling Kemayu di Dunia: Laila seorang istri dari tukang pos bernama Bima mesti mendapati kenyataan bahwa dalam pergaulan suaminya dengan teman-temannya akan sangat berpengaruh pada hubungan mereka berdua, yang saling menyayangi dan mencintai meski untuk perkawinan Bima yang ke sekian dengan Laila itu. Gelombang bahtera keluarga itu sungguh membuat Laila yang cantik mesti mencabik hati sendiri dengan mengambil sikap tegas terhadap sang suami namun sebagai istri Laila tidak mempunyai kekuatan cukup untuk itu, dan nyaris atau entah akhirnya memang Laila menjadi majenun, gila, dalam masa kehamilannya mendapati suaminya sering mabuk bersama teman-temannya yang merupakan orang yang dikirimnya surat.

3. Wanita Dari Luar Kota: Adalah wanita yang membawa seorang bayi yang datang pada rumah tinggal mahasiswa yang ternyata membawa misi tertentu sesuai dengan sumpahnya kepada suaminya yang telah meninggalkannya dan kawin lagi dengan wanita lain. Wanita yang datang dari jauh ini mengharu-biru kehidupan tenang mahasiswa itu hanya untuk menjaga sumpah untuk menculik dan menyembelih anak hasil perkawinan suaminya dengan orang lain. Dan setelah menculik anak itu, si wanita sempat mencederai suaminya hingga harus dikejar orang banyak dan menyelamatkan diri di rumah sang mahasiswa.

4. Sebuah Gambar di Ruangan Tukang Cukur (1972-2004): Tukang cukur yang mesti melayani dan menyenangkan para pelanggannya mesti menggonta-ganti gambar-gambar yang dipasang di ruang prakteknya sesuai dengan selera yang saling bertentangan pada diri pelanggannya. Berujung selera universal adalah gambar-gambar wanita cantik dalam pose-pose yang membuat hati berdesir, pilihan gambar terakhir ini berbuah kebahagiaan bagi seorang mayor yang dikembalikan memorinya tentang indahnya pernikahan dan cinta. Gambar yang dipasang telah menjelma gadis pinangan sungguhan bagi pelanggan tukang cukur. Entah kapan bagi ia sendiri.

5. Bi Gayah Sambalnya mmm…m (1975-2003): Seorang pembantu wanita yang tidak lazim, punya banyak perbedaan dibanding para wanita lain yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Perokok berat, suka membunyikan radio, punya kekuatan fisik yang luar biasa, suka mengumpulkan bahan pakaian, perhiasan namun tidak meninggalkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang banyak membantu kebutuhan tuannya, bahkan dengan sikapnya yang aneh dan eksentrik pembantu rumah tangga ini meninggalkan kesan mendalam bagi tuan-tuannya.

6. Saat Tidak di Rumah: Juga kisah tentang orang kecil, tinggal di daerah metropolitan di Jakarta yang didominasi kaum urban dengan kehidupan tidak berlebihan tapi mesti menghadapi gaya hidup konsumerisme di Jakarta yang banyak ditawarkan dengan produk-produk yang bikin ngiler wanita istri pegawai kantor. Dengan jeli Rahmat Ali memotret gaya hidup istri yang membuat gemas pembaca karena polahnya yang seenak sendiri, tidak peduli anak bahkan membiarkannya cedera, khususnya saat suami tidak di rumah. Tapi untuk menikmati gaya hidup konsumtif, si istri ini bahkan mesti menyusul suami yang sedang dinas ke luar kota yang celakanya malah menghabiskan honor yang suami.

7. Narto (1980): Kopral yang berdedikasi pada kesatuannya tapi hidupnya tidak beranjak naik hanya karena ia lebih mengandalkan kekuatan fisik tidak disertai dengan kecerdasan intelektual dan syarat-syarat lain yang menjadi kriteria kemajuan karir dalam struktur ketentaraan. Malah orang seperti ini hanya untuk menyelesaikan bangunan rumah yang belum rampung-rampung mesti minta bantuan wanita yang pernah ditolongnya, yang celakanya wanita ini mencari uang dengan jalan menjajakan diri sebagai pelacur, meski sebetulnya si wanita sudah terangkat kehidupannya dengan diperistri orang lain; tapi mau melacurkan lagi untuk cari uang buat penyelesaian bangunan rumah sang kopral.

8. Pagut (2004): Bercerita tentang seorang anak desa anak angkat mandor pabrik gula khas dengan latar pedesaan jaman sebelum kemerdekaan. Kisah romantis anak desa yang dekat dengan suasana dan kehidupan desa, kerbau, kolam ikan, sawah, surau, lokomotif lori perkebunan, ladang tebu, keluar masuk sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah swasta yang relatif lebih tinggi, tapi tetap diperhatikan oleh orang tuanya yang tetap bisa menyekolahkannya meski untuk mendapatkan biaya sekolah mesti melakukan pekerjaan apapun. Anak nakal ini baru merasakan arti hidup setelah nyawanya nyaris terbang karena digigit ular beracun. Si anak ini merasakan hidup yang lebih indah dibanding kehidupan bersama kedua orang tua kandung yang menelantarkannya.

9. Sol Demi Sol (1981-2004): Sepatu yang menjadi sahabat terdekat manusia moderen jaman ini mempunyai jiwa pula, dalam tulisan Rahmat Ali. Kisahnya adalah kisah sejauh mana sang pemilik mengalami kisah-kisahnya dengan orang-orang lain yang juga punya sepatu-sepatu yang lain, dengan sosok dan wujud dan fungsi yang lain. Kisah sepatu juga kisah sejauh mana sang majikan punya kepedulian terhadapnya, juga kepedulian atau sikap dari orang-orang yang dekat dan berhubungan dengan si tuan. Sikap keluarga majikan itu yang membuat nasib sepatu harus berakhir di bubungan atap, menyaksikan kehadiran sepatu yang lebih perlente, bersih dan baru dikenakan sang majikan yang bagaimanapun butuh penampilan oke.

10. Musim Layang-Layang (1996): Layang-layang dan pengejarannya serta seluk-beluk pembuatannya tak memisahkan dari siapa pembuat layang-laang, siapa pemilknya, siapa yang pandai memainkan, pandai mencari uang untuk bisa punya layang-layang yang indah dengan benang yang kuat yang bisa memutus benang-benang layang-layang lain jatuh meliuk-liuk di angkasa tinggi, terbang entah ke mana angin bertiup dan dikejar anak-anak meski hujan datang dan membuat mereka berbasah kuyub atau menjadi sangat kering tenggorokan karena udara yang kering sementara tidak setetes air pun bisa diteguk. Pengalaman masa kecil 'Aku' dalam cerita Musim layang-layang ini tak bisa terlupakan baginya hingga ia berburu layang-layang kehidupan sesungguhnya di metropolitan Jakarta yang keras.

11. Jantuk: Suatu zat, jiwa, roh masuk ke dalam guling dan menyaksikan kehidupan pemiliknya, pasangan pemain lenong betawi yang menyandarkan kehidupannya dalam pertunjukan kesenian tradisional yang kala itu masih digandrungi masyarakat tapi seiring dengan perguliran jaman kesenian ini menjadi tersisih oleh kesenian-kesenian yang lebih moderen dan berdampak buruk pada kehidupan pasangan seniman ini. Sang lelaki menjadi sangat terlunta-lunta mencari orderan manggung dari satu tempat ke tempat lain dan selalu gagal, tetapi dicurigai istrinya bahwa suaminya itu mencari perempuan lain untuk menyambung keturunan lantaran ia tidak bisa memberikan keturunan baginya yang sudah berumur uzur. Pembelaan zat, jiwa, roh yang tahu kondisi sesungguhnya pada sang lelaki terhadap wanita istrinya itu tidak mampu meluluhkan sikap keras si istri yang akhirnya lebih memilih menyatu dan kembali ke alam bersama jiwa, zat, roh yang keluar dari tubuh bantal pemain lenong betawi itu.

12. Jenny (1992): Tukang pijit atau tukang pijat? Rahmat Ali memilih menggunakan kata tukang pijit, yang berkonotasi lebih feminin, karena pelaku profesi ini adalah seorang wanita. Wanita tukang pijit yang dilukiskan Rahmat Ali di sini sebagaimana lumrahnya di panti-panti pijit atau lazimnya disebut panti pijat, senantiasa melayani tamu-tamunya lelaki-lelaki dari berbagai kalangan, profesi, tabiat, sikap, mulai dari lelaki yang santun dan menghormati sesamanya meski itu seorang wanita tukang pijit, sampai laki-laki yang kurang ajar dan memandang pemijitnya hanya barang tak layak diajak berkomunikasi dan profesi ini begitu nista padahal ia mau bahkan menyerahkan tubuhnya untuk dipijit dan digerayangi bahkan lebih dari itu. Dari semua sikap ini sampai lelaki yang mau mempersunting tukang pijit sebagai istri, sayangnya Rahmat Ali menenggelamkan nasib tukang pijit mau pasrah dalam kehidupan ini, dan mempedulikan dengan penuh rasa sayang kepada lelaki yang dipijit adalah kepedulian sebatas sebagai tukang pijit, dan hanya berlaku pada saat 'jam kerja' memijit.

13. Hari-hari dalam hidupnya: Kasihan nasib gadis yang menumpang hidup pada orang lain, bahkan tak lebih berperan sebagaimana pembantu rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, semua, semua dan semua, dan menjadi sasaran kemarahan lelaki dan perempuan yang ditumpanginya. Untuk menikmati warna kehidupan di luar rumah tangga itu, sangatlah jarang dan mesti mengambil kesempatan hingga suatu saat didapatinya kesempatan itu lalu untuk bertemu dengan seorang duda beranak, lelaki yang ingin meminangnya sebagai istri. Nasib, karena lelaki yang ditumpangi hidup di rumah itu entah berkata apa, duda yang melamarnya itu tak pernah kembali lagi muncul. Dan kehidupan gadis penumpang hidup ini kembali seperti biasanya, menjalankan pekerjaan tak ubahnya sebagai pembantu rumah tangga. Dari hari ke hari. Waktu ke waktu.

14. Dialog Membisu (1996): Tiga bersaudara dari sekian bersaudara yang sangat beda cara hidupnya dibanding saudara-saudaranya yang sukses bekerja dan berumah tangga. Sebetulnya pengalaman mereka pernah sukses bekerja di tempat jauh dari rumah, dan cukup membanggakan. Namun karena ketidakkuatan menghadapi problematika mental, mereka kembali ke rumah kedua orang tuanya. Dan menjadi beban. Dari hari ke hari hanya duduk dan bersantai-santai, waktu ke waktu menggilas kemalasan itu, sementara anak-anak lain, pemuda-pemudi lain sudah begitu maju dalam karir dan profesi, mereka hanya menjadi penghuni rumah orang tuanya dan menghabiskan waktu untuk tidak bertindak apa-apa dalam hidup. Tragis. Rahmat Ali memakai teknik syair dengan pengulangan kalimat yang sama pada beberapa alinea. Memberikan kesan yang menyayat-nyayat dan sungguh mencabik-cabik perasaan, merasakan betul suasana yang membosankan dan menekan mental ketiga orang anak yang telah menggerogoti kehidupan keseharian kedua orang tua malang ini.

15. Moko Yang Terpanah (1999): Keberuntungan berpihak pada dua sejoli suku nelayan, yang saat menjala ikan mendapati dua buah moko (genderang, tifa kuno) ternyata setelah disimpan di rumah sepasang moko ini tanpa diketahui memberi rejeki yang berlimpah kepada keluarga sederhana ini hingga hidupnya berkelimpahan dan terpandang di desanya. Ternyata pada saat semua tidur lelap pada malam gelap kedua moko bangun dan berkeliling desa untuk mencuri apapun yang menarik hati perhatian mereka dan disimpan di rumah kedua 'orang tuanya' tadi. Puncak sekaligus antiklimaksnya ketika kedua moko menculik anak-anak di kampung. Menculik lebih berat dari mencuri, kecurigaan penduduk suku itu tak terperi, mencari biang misteri dan mengejar dan memanah hingga moko jantan tewas, sementara si betina terluka dan hanya dengan kesediaan 'ibu'nya untuk berkorban si moko tak dibunuh walau akhirnya toh tetap tewas dalam perjalanan. Moko terpanah ini tersimpan sampai keturunan kesekian dari pasangan nelayan tadi.

16. Petualangan Bersama Bantal (1996): Merebahkan kepala di atas bantal membawa seorang lelaki tua beruban lelap dan terbang melayang angan dan memorinya ke seluruh masa hidupnya di masa silam dan bertemu dengan sosok-sosok dirinya dari segala usia, sejak anak remaja, pemuda, dan mempertemukannya dengan gadis pujaannya yang dulu tidak jadi bersatu dengannya tapi malah kawin dengan lelaki lain. Kini perempuan itu tidaklah seindah masa gadisnya yang dulu, namun kenangan terhadap indahnya masa bercinta mereka tak akan pernah terlupakan sepanjang ingatan.

17. Mesintik Kesayangan (1993-2004): Mantan sersan yang menjadi sopir bos besar memilih profesi sebagai pengarang karena tidak tahan melihat sepak terjang dan gaya hidup bos besar yang memojokkannya harus bersilat lidah dan berbohong terhadap istri bos besar yang begitu baik kepadanya dan kepada istrinya. Rasa bersalah dan tekanan batin mesti melakukan kebohongan-kebohongan yang tak lebih dari dosa dan kejahatan sepanjang ia menjadi sopir bos besar terpaksa ia lakukan hanya untuk menjaga rahasia sang bos besar. Mesin tik ini menjadi saksi atas semua itu. Teristimewa saksi kehidupan majikan setelah menekuni pekerjaan sebagai seorang pengarang, yang butuh kesunyian dan dalam kesunyian itu ada saja yang datang.

18. Aku Seekor Merak (1999): Keluarga merak hidupnya di kebun binatang, menimbulkan kejemuan bagi seekor anak merak jantan yang akhirnya berhasil memprovokasi saudara-saudaranya untuk keluar, lepas, dan melarikan diri dari sangkar kebun binatang yang memaksa hidup hanya untuk menyenangkan pengunjung kebun binatang, dengan ruang gerak terbatas, terkungkung dalam sarang. Hidup di alam terbuka memang menyenangkan tapi itu tidak lama, banyak ancaman kehidupan dan nyawa merak bersaudara itu. Dari lima ekor merak yang cari kebebasan itu, dua teman, dibedil dan terpanggang sengatan kabel listrik. Ingin kembali pulang mereka tidak tahu jalan, tidak ada jalan lain, kecuali menghibur diri bahwa lebih baik mati di alam bebas asal lepas dari kurungan yang membatas keleluasaan gerak.

19. Lori (1999): Anak nakal dan gerombolannya selalu membuat olah, onar, rusuh, sengsara dan mengganggu serta mau menang sendiri terhadap seluruh penduduk kampung di sekitar perkebunan tebu yang setiap hari dilewati lori pengangkut tebu. Para pemimpin kampung, tua-tua tidak ada yang berani bertindak tegas terhadap mereka dan terkesan menghindar atau membiarkan dan tidak mau repot menghadapi, kecuali para mandor yang harus mempertahankan batang-batang tebu terutama yang diangkut lori. Sekali kalah melawan mandor-mandor itu, gerombolan anak nakal berulah kembali sampai menyebabkan lori terguling kecelakaan dan tewasnya pentolan anak nakal secara mengenaskan dan menyisakan kesan angker wilayah sungai tempatnya menemui ajal.

20. Akibat Lepasnya Dasamuka (1988): Tidak seperti cerita Ramayana yang baku, di sani Rahmat Ali bercerita Dasamuka setelah dikalahkan Rama, diikat, digantung dengan kepala di bawah, ditempatkan dekat kawah gunung berapi dan dijaga Anoman dalam waktu yang sangat lama, hingga Rama meninggal dan jaman-jaman sesudahnya sampai Anoman tua dan lemah. Kesempatan Dasamuka untuk melepaskan diri pun tiba dan membuat banyak onar, kerusakan dan kehancuran seluruh negeri, hingga Dasamuka merasa tidak punya lagi lawan yang sepadan dan memutuskan untuk menghancurkan diri. Meskipun tubuhnya hancur dan mati, Dasamuka meninggalkan segala keburukan bagi alam dan manusia yang sangat sulit diatasi sekalipun oleh penguasa negeri selanjutnya.

21. Sungut Sang Prabu Terlalu Panjang (2000): Perlawanan negeri rimba terhadap raja keong dipatahkan oleh raja keong dengan virus yang membuat semua menjadi lamban, mengikuti sifat hakiki darinya. Awal perlawanan mereka karena harapan dengan terpilihnya keong menjadi penguasa nusa rimba yang adil bijaksana dan bisa memimpin negeri tidak bisa terpenuhi. Malah sebaliknya sifat-sifat buruk raja keong yang lamban membuat hampir semua permasalahan negara dan masayarakat nusa rimba tidak dapat tertangani dengan baik, menimbulkan begitu banyak kekacauan dan kemerosotan nilai hidup.

22. Bertemu Hang Tuah (1999): Pemberian keris pusaka kecil oleh seorang aneh pada seorang wanita membuatnya didatangi istri Hang Tuah yang diperintahkan Hang Tuah agar barang milik Hang Tuah itu dikembalikan kepadanya di kuburan keramat terpencil yang membutuhkan nyali untuk berani melakukannya. Untuk itu dibutuhkan pertolongan orang pintar yang sayang tak segera terjadi dan terpaksa dilakukan sendiri bersama teman. Sepeletakan benda itu pada tempatnya Hang Tuah datang dan mengambilnya lalu pergi dengan kapal besar meninggalkannya beserta istri Hang Tuah di dermaga, yang segera berubah menjadi tempat aslinya, kuburan sunyi.

23. Akibat Bom Virus (2002): Kerajaan kegelapan menjalankan misinya di bawah penguasa kegelapan yang ingin semua manusia mengikuti maunya, bertindak, bersikap, bersifat, dan bermoral bejat, dengan membombardir negara tujuan memakai bom virus yang bukan sembarang bom seperti bom konvensional yang meledakkan, meruntuhkan dan menghancurkan bangunan. Bom virus ini berbau sangat harum yang bila terhisap akan membuat penghisapnya berubah sifat menjadi jahat, tamak, rakus dan sebangsanya sifat-sifat kegelapan. Sayang tidak semua oknum, golongan dan profesi berubah bersifat jahat, buruk dan sebangsanya, karena masih ada kalangan yang bersikap melawan kejahatan ini sesuai dengan profesi dan kewajiban masing-masing. Kemarahan raja penguasa kegelapan tak terbendung dan kiriman bom virus kedua dibombarirkan lagi hingga semua orang, oknum, pribadi, golongan dan profesi menjadi benar-benar total jahat dalam segala bentuk manifestasinya yang memuaskan sang raja kegelapan dengan bom wangi.

24. Aku Naga Pengangkut (2002): Kereta api bentuknya seperti naga, jadi ide Rahmat Ali mengarang bahwa memang sebetulnya kendaraan ini naga dari perut bumi muncul untuk membantu manusia menggantikan atau melengkapi kendaraan-kendaraan pengangkut lain yang mudah rusak oleh kanibalisme dan ketidakberadaban manusia. Dan dalam wujud kereta listrik yang dikenal sudah menjadi kendaraan menghubungkan wilayah-wilayah empat penjuru mata angin itu terutama di perkotaan, metropolitn Jakarta, naga pengangkut benar-benar merasakan penderitaan menjadi sarana tempat kehidupan para penumpang dari berbagai kalangan yang punya gaya hidup macam-macam mulai dari pengemis, pemulung, pengamen, sampai perempuan-perempuan seksi dengan payudara nongol dan pantat bahenol, apapun profesi dan orang yang memanfatkan kereta jadi sarana pengangkut, kendaraan meski tidak bisa dihindari pencemaran, sampah, kerusakan bahkan pengrusakan yang terjadi dan membuat naga pengangkut ini fisik dan fungsinya begitu terdegradasi.

25. Krakatau, Krakatau (2003): Pertemuan seorang cerpenis dengan penari ular mantan pawang gajah di kapal yang menyeberang selat Krakatau berbuahkan manisnya hidup memasuki wilayah serba indah. Namun ternyata itu dunia lain yang menyeretnya masuk wilayah kekuasaan Ratu dunia lain wilayah Selat Krakatau. Dalam wujud roh tidak kelihatan, si cerpenis bisa melihat semua keluarga yang mencintainya dan ingin berkomunikasi dengan mereka, namun yang terjadi hanya gejala alam yang keluarganya tidak pernah tahu meski di situ si cerpenis di dekat mereka bahkan menyentuh tubuh atau tangan keluarganya.

26. Jaran Kepang (1997-2004): Kesenian tradisional bernama lain Kuda Lumping di sini disorot Rahmat Ali dalam perjalanannya menjumpai atraksi yang berdekatan dengan keberanian dan ketrampilan 'mistik'. Pemain kudang lumping berhasil menyatu dengan alam dan roh-roh gaib melayang-layang di angkasa mengundang kekaguman luar biasa dari para penonton, dan melakukan perbuatan-perbuatan ajaib, menolong semua orang berkekurangan dengan bantuan keuangan dan harta kekayaan yang didapat dengan merampok, menggarong dari sumber-sumber harta dan uang yang ada. Meski merampok untuk menolong yang menderita, perbuatan pemain jaran kepang ini tidak berkenan bagi roh-roh gaib dan alam hingga menimbulkan malapetaka, bencana alam yang luar biasa memporak porandakan kehidupan, sementara sang pemain kuda lumping gagal kembali ke asalnya, tetap dalam kondisi magis di alam lain.

27. Gelombang Nyai Roro Kidul (2002-2004): Kisah hilangnya orang di pantai atau lautan selatan sudah sering dijumpai, yang kini dikisahkan Rahmat Ali adalah kehidupan di alam maya yang tidak kelihatan orang yang merasa kehilangan karena tidak pernah kembalinya kekasih, ayah, suami, teman yang dikabarkan oleh berbagai mulut dan media massa telah mati. Padahal, di lautan selatan yang bersangkutan menikmati kehidudupan yang jauh lebih indah, enak, megah dan penuh kedamaian, berkelebihan, makmur dan adil, sangat bertolak belakang dengan kehidupan di atas daratan seperti yang diketahui tokoh utama sebelum masuk dunia Nyai Ratu Kidul. Sayang kebahagiaan ini menjadi sirna ketika sang tokoh melihat keluarganya di tepi pantai dan ia mendekat untuk menyapa mereka, mereka sama sekali tidak menggapai. Bahkan sekalipun telah dipegang atau disentuh atau sekedar digoda dengan cipratan air mereka tidak bisa melihat sosok lelaki yang sebetulnya sangat mereka cintai dan dinyatakan hilang.

28. Kiriman dari Jauh (2002-2004): Sakit karena santet dan sebangsanya bukan main rasa dan wujudnya. Banyak barang tajam yang semestinya untuk alat-alat kekerasan, binatang-binatang menjijikkan dan kotor di perut dan organ-organ tubuh hasil kiriman orang 'pintar' yang menjahati wanita tokoh cerita. Tentu saja pergi ke dokter tidaklah menolong, pergi ke orang pintar banyak sarannya. Ketahuan ada seorang lelaki yang dulu kalah saingan dengan suaminya dalam memperebutkan dirinya sang wanita molek. Hanya dengan ibadah suami lebih khusuk kiriman dari jauh itu dapat diusir, dan karena dianggap salah satu biangnya adalah rumah tinggal pasangan merekapun pindah. Tanpa melakukan balas dendam ternyata pengirim barang 'santet' itu ternyata tewas dalam kecelakaan mengerikan.

29. Jangan Ganggu (2004): Masa pensiun, masa paling indah. Masa di mana hasrat menulis bisa tersalurkan mulus, di mana hari-hari bisa diisi kegiatan yang mendukung proses kreatif penciptaan, bebas dari gangguan bisa berupa apa saja termasuk tekanan pekerjaan yang mengharuskan perhatian mesti pada penyelesaian tugas-tugas kantor dan atasan. Namun jangan dikira dalam menikmati masa penciptaan ini hal sekecil apapun tidak bisa menjadi suatu gangguan, bahkan kehadiran orang-orang yang sangat dibutuhkan sekalipun, seperti pembantu rumahtangga dan cucu-cucu. Juga pada masa-masa menyepi di kamar kecil dengan ritus sakral di mana ide kreatif muncul dan menyatu dengan imajinasi terangkai dalam angan untuk berlanjut dalam laku teknis dalam mewujudkan suatu karangan karya. Makin peka seorang seniman, makin detil ia meluncurkan kata dan peristiwa yang seolah remeh tapi sebetulnya berdaya sentuh besar pada langkah berikutnya.

30. Kopi O, Kopi Goni, The Obeng, Mi Lendir dan Truk Dinosaurus (2004): Seorang suami yang sering memuja-muji masakan dan suguhan istri di rumah bahwa masakan dan minuman itu enak dan lezat belum tentu menyatakan hal yang sesungguhnya. Yang membuatnya sering tidak muncul di rumah juga belum tentu karena perempuan lain penjual makanan di tempat yang biasa dikunjungi dalam menjalankan pekerjaan sebagai sopir traktor tambang granit. Tapi, yang sebenarnya adalah si lelaki sangat menikmati makanan dan minuman yang enak di warung itu.


PUISI RAHMAT ALI

Bila dalam buku ini memang jadi disisipkan (yang ternyata akhirnya oleh penerbit dikelompokkan cerpen-cerpen dahulu baru disusul kelompok puisi), menikmati sajak-sajak yang disisipkan di antara cerpen-cerpen Rahmat Ali, membutuhkan perpindahan konsentrasi yang butuh ketrampilan cara menikmati puisi yang berbeda dengan metode menikmati cerpen. Tidak semua orang suka puisi. Tidak semua orang pula menyukai cerpen. Kalaupun ada yang suka kedua-duanya, perpindahan gelombang pikiran untuk menangkap sinyal puisi maupun cerpen bisa merusak gambaran penikmatan; seperti halnya gambar di monitor televisi.

Kesan penyisipan puisi ini dimaksudkan sebagai selingan yang membuat pembaca tidak jenuh untuk membaca cerpen-cerpen bisa dimaklumi; namun mempertimbangkan hal itu malah bisa memunculkan efek samping yang tidak diharapkan. Apalagi terhadap suatu apresiasi puisi yang mempunyai genetik berbeda dengan cerpen. Bertaburannya puisi-puisi pada tempat yang terpisah-pisah terpaksa membuatnya harus mengumpulkan puisi-puisi dalam kelompok sendiri. Lalu disusun sesuai dengan metode pembedahan karya. Tidak ada jalan lain, itulah yang saya lakukan.

Yang paling bagus memang mengelompokkan puisi-puisi itu, lalu menyusun berdasar tahun pembuatannya untuk melacak histori karya Rahmat Ali yang tentu bukanlah semua karya puisi yang pernah dibuatnya, tapi barangkali puisi pilihan saja. Namun, rentang tahunnya sejak 1959 sampai 2004, kondisi berbeda dari pengarangnya akan membuatnya susah menyebutkan karya pada suatu masa sebagai suatu karya yang bergejolak penciptaannya, yang secara intens dilakukan untuk mencapai karya-karya puncak; kecuali, memang cukup menjadi karya yang muncul mengikuti impuls suatu saat.

Meski begitu, ada baiknya bila kita coba menikmati puisi demi puisi itu terlebih dulu, baru disusun berdasar tahun pembuatannya, tinggal kita petakan bagaimana kegelisahan puitika Rahmat Ali di sela-sela intensitasnya berprosa yang begitu tinggi. Itu hanya alternatif terbaik saja, walau akhirnya saya lebih memilih menyusun sesuai urutan pemuatan puisi dari halaman depan saja, yang menyelang-nyelingi cerpen-cerpen yang ada; dan saya membahas setiap puisi, yang ternyata, semoga bukan kebetulan, tertangkap secara global genetik puisi-puisi Rahmat Ali adalah puisi yang prosais, mengambil thema bermacam-macam, mengandung kegelisahan moralitas, kemanusiaan alias humaniora yang mengangkat masalah-masalah mendasar hidup manusia (‘Sajak Tentang Tiga Dunia’), yang menyentuh cita rasa manusia (Sajak Nglangut), problema manusia (‘Janda Almarhum’), atau suatu potret kehidupan manusia (‘Biduanita Rock yang Molek’), dikawinkan dengan kondisi lingkungan yang berhasil dipotret secara jeli (‘Si Buyungdunia Pergi Tidur’, ‘Pesta Jakarta’, ‘Kisah Suatu Teluk’), menyoal keadilan (‘Balada Bersekolah yang Beratap Langit’), yang mana balada alias sajak yang mengharukan ini juga tampak pada beberapa puisi yang lain termasuk ‘Cah-cah Ayu Dari Gunung’, beberapa mengandung muatan religiusitas (‘Semua Tunduk’) dan beberapa lebih tepat disebut puisi agamawi karena langsung mengantar pada suatu ajaran agama tertentu (puisi ‘Zamzam’,‘Ka’bah’), sementara religiusitas nilai-nilai lebih bersifat universal tak berbatas simbol-simbol keagamaan. Dan yang tidak ketinggalan, puisi cinta (‘Cinta, Cinta’, ‘Hei’) yang ‘pastilah’ semua penyair melakukannya.

Dari segi teknis, Rahmat Ali seperti kebanyakan penyair mencoba menyeimbangkan rima, irama, tipologi, metafora dan permaknaan kata. Namun tidak bisa tidak, pemilihan teknis ini tidaklah mungkin bisa diakomodasi semuanya, karena pemaksaan suatu teknis misalnya memakai rima melulu bisa-bisa malah mematikan teknis lain yang jadang kalau dibebaskan akan memberi suatu gereget sendiri suatu karya. Setidaknya terasa ada kesadaran Rahmat Ali tidak ingin mengebiri makna hanya karena menghamba pada metafora, sebaliknya tidak menghamba pada metafora bilamana pada saat itu yang akan sangat kuat kenangannya adalah persamaan bunyi, suku kata atau rima.

Memang namanya seni, membutuhkan kepekaan perasaan yang hanya muncul bila diasah dan kadang sulit terdefinisi untuk menyunggi misteri yang menjadi bahasa utama puisi, penuh kejutan, kadang mengangkat kadang menjatuhkan, kadang menghempas kadang membumbungkan perasaan, pikiran atau imajinasi, yang ujung karya utamanya adalah kenangan, kesan yang sangat membekas sebagai keberhasilan suatu puisi.

Maka, kemudahan untuk diingat merupakan satu keberhasilan puisi. Karena ada beberapa keinginan yang mencoba memadukan unsur-unsur estetika dalam bangun puisinya, Rahmat Ali mencoba menyusun cerita pendek menjadi lebih pendek lagi dalam baris-baris terpisah sebagaimana lazimnya teknik tipologi dalam puisi seperti yang tampak pada beberapa puisi yang kisahnya adalah potret lain dari kisah pada cerpen-cerpennya (‘Jantuk’, ‘Janda Almarhum’). Tentu saja dengan penuturan berbeda dari cerpen yang sangat mendetil, sementara puisi-puisi ini lebih terikat pada unsur-unsur estetika itu yang bila dikawinkan dengan majas yang dilahirkan bisa menuntun ke perbedaan antara prosa dan puisi secara anggun. Walau, kadang perbedaan itu tipis dan membahayakan jati diri puisi yang bersangkutan kalau penuturan bercerita begitu kental prosanya seperti dalam puisi ‘Bis’ yang diselamatkan perpuisiannya dengan permainan tipologi.

Tak dapat dibantah hal semacam ini memang sudah jadi milik dan memperkaya sastra kita bahkan sastra dunia seperti halnya puisi pendek ‘Sajak Barbir’ yang pendek, bahwa puisi bisa sangat prosais, dan sebaliknya prosa bisa sangat puitis, walau untuk mengembalikan kepada genetisnya masing-masing itu tetap suatu hal terbaik karena pasti dalam genetisnya sendiri masih banyak yang bisa dieksplor, tidak berhenti pada ‘penemuan’ perpuisian kita yang mandeg pada tokoh-tokoh sentral yang dianggap masih saja meraksasai puisi. Selebihnya mencermati puisi-puisi Rahmat Ali secara individu puisi, akan tampak keberanian Rahmat Ali menggunakan kata-kata ‘aneh’ yang mewarnai puisinya, mencari makna baru dengan bermain kata-kata itu yang tentu saja masih berbenangmerahkan dengan bangunan utuh puisi itu dengan kalimat lain.

Persoalan unsur-unsur estetika itu teramu dalam suatu orkestra yang meninggalkan kenangan, penikmat yang bisa menilainya setelah merasakannya, karena mirip dengan gaya penceritaan dalam cerpen-cerpennya, terasa eksplorasi masalah sering tidak tuntas dan mudah selesai (baca puisi ‘Ajari Lagi’, ‘Balada Bersekolah yang Beratap Langit’), sementara kalau dipertajam lagi bisa bernilai lebih dari pesan yang tanggung.

Percikan-percikan gemerlap atau redupnya puisi Rahmat Ali bisa dijumpai sebagai penik-pernik setiap puisinya, yang akan lebih mengena dan bermanfaat bila ditelaah satu per satu. Saat mulai berkomentar, saya tidak mencantumkan halaman pemuatan puisi-puisi itu karena saat itu buku ini masih berupa konsep yang butuh diteliti dan dikoreksi lebih teliti. Ada beberapa pemuatan yang tidak tepat halamannya sesuai daftar urut di depan. Ada puisi yang judulnya ada di daftar tapi pada isi buku ternyata tidak ada, mungkin keliru dengan judul yang lain. Seperti puisi 'Semua Tunduk' yang tidak ada di isi tapi yang ada adalah puisi 'Mungkin'.

Tanpa mengurut tahun pembuatannya, saya memilih untuk membahas karya-karya yang ada apa adanya, dengan harapan lebih tekstual pembahasannya. Harapan lain tentu agar upaya pencapaian karya puisi yang bernilai dari Rahmat Ali itu benar-binar bisa ditemukan kecemerlangannya.

1. Cinta, Cinta (1961): Tentu yang dipakai Rahmat Ali untuk terbang ke ranjang kekasihnya bukanlah kemeja, tapi sayap-sayap rindu yang berkemeja. Kemeja ini untuk melengkapi sayapnya yang tidak polos, telanjang, kerinduannya yang terbang seperti sayap dipersolek dengan kemeja. Metafora dua lapis ini (sayap rindu, kemeja) memberi nuansa lain untuk suatu cinta. Apakah cinta itu harus begitu berpenampilan? Diulang dengan bekal yang lain 'berbekal kalbu seribu', cinta menjadi penuh asesoris muatan. Tapi rupanya tidak demikian dalam pandangan Rahmat Ali, ia menilainya sebagai suatu kurnia, ia tekankan hal ini yang mungkin tak terpikir sebelumnya saat membaca baris-baris awal dengan kata penguat 'Duhai'. Ditambah metafora lagi, 'Cinta itu sendang (kolam, jawa, Rahmat Ali acap memakai ungkapan Jawa) pegunungan dalam dadaku' yang mengundang kekasihnya untuk bersama menikmatinya. Ditambah lagi metafora-metafora yang lain tentang cinta itu, menunjukkan penguasaan metafora pada sosok Rahmat Ali. Referensinya tentang cerita klasik Rama Sinta memudahkan pembaca mengikuti pergolakan resah dalam suatu cinta. Suatu temuan tersendiri manakala dia gambarkan resah cintanya itu dengan panah dan kijang emas di hati kekasih, dan ia menjelajah cinta itu dalam raba pada kijang emas terpanah, dalam rimba, dalam rambut, hati di malam. Ia telusuri cinta itu sebagai suatu pencarian yang mempertemukan hatinya dan kekasihnya dalam satu surga. Di karya Rahmat Ali, resah dengan segala gundah nyatalah indah dalam suatu cinta.

2. Si Buyungdunia Pergi Tidur (1960): Tapi buat apa tekad dan pedang, kalau dalam bait-bait sebelumnya tidak disinggung tentang suatu peperangan? Pertanyaan ini menggelitik ketika pada awal puisi ini diungkap bagaimana malam, yang di'aku'kan oleh Rahmat Ali yang bertutur kepada bui yang di'si buyung dunia'kan. Penuturan yang mengalir dan dengan pengambilan pernik-pernik alam, bintang, rembulan, burung, angin sepoi. Satu kata yang bisa menghubungkan ada di akhir bait pertama 'seharian penuh kau telah berjuang demi hidup harimu'. Ada hubungan, tapi tetap terasa jauh dari tekad dan pedang yang ada di bait terakhir. Penyelamat makna baris ini adalah kalimat di baris sebelumnya '...taklukkan segala yang merimbakan hidup'. Malam yang melindungi buyung dunia tetap merelakan bahkan mengharus buyungdunia bangun dan menghadapi hidup. Dan jangan kuatir, bui dan malam akan menyatu lagi. Rahmat Ali berhasil mendetilkan kondisi perubahan hari pada perputaran alam dan memanusiakan mereka. Ada harapan yang menyatukan makna kalimat dalam ujung puisi 'Dengan serangkai bunga di tanganku (malam) kita (bumi dan malam) kembali temu!'.

3. Janda Almarhum (1961): Puisi yang prosais menceritakan seorang yang mesti mencari nafkah dan menghidupi anak-anaknya dengan susah payah karena ditinggalkan suaminya, mengingatkan pada cerpen rahmat ali tentang kuda lumping di mana penmainnya mesti tewas dalam kondisi magis tak bisa kembali ke dunia karena sudah menyatu dengan alam supranatural. Meski prosais, unsur puisi yang penuh misteri menyisakan tenaga dan energi meski dicurahkan untuk mengimbangi gejolak emosi yang bisa muncul karena membaca baris-demi baris puisi yang tragis karena permainan kata yang dipilih Rahmat Ali. Amati kalimat awal: karena/ kematian 'dialah kuda beban ditunggang anaknya lima', yang akan meluncur beberapa baris lalu ditemui lagi kalimat senada 'berlari dikendara lima penunggangnya', meluncur lagi beberapa baris lalu ditemui lagi kalimat 'berlari dia membawa anaknya lima'. Permainan kata yang akan terasa gejolaknya setelah mengamati baris-baris kalimat di antaranya adalah suatu pergulatan dan kemampuan Rahmat Ali melukiskan misteri hidup susah. Dipukul pada akhir dengan suatu harapan mempesona: karna tahu, putra-putra Suparman penunggang setia/ yang kelak menahtakan kuda beban di singgasana/mulia.

4. Kisah Suatu Teluk (1975): Permainan personifikasi jadi andalan puisi Rahmat Ali ini. Selubung tubuh, mata berkilau, beralis, semua diberikan untuk laut dan sebangsanya, juga kata-kata menggoda, telentang, menelanjang, diperkosa, ditunggang, membelalak, dan sebagainya, meluncur dengan berurutan di sela-sela sosok laut yang punya tanda-tanda kehidupan sebagai sosok pribadi yang kadang dimetafora, disimbolkan sebagai makhluk lain yang jika membayangkannya akan terasa sifat dari makhluk yang bersangkutan akan memberi nyawa pada teluk yang dikisahkan. Puisi kisah, dengan unsur-unsur pembangun puisi semacam ini bukan hal sepele, meski banyak dilakukan orang tetap menjadi suatu pendorong lebih memperkaya perlambangan alias metafora yang lebih meriah dan lebih kaya lagi untuk menjemput gol terindah dari suatu karya sastra yaitu imajinasi, bukan sekedar kognitif, dan memberi kenangan karena imajinasi akan selalu membuat kita mudah mengenang.

5. Bis (2000): Kembali Rahmat Ali menunjukkan giginya yang kuat dalam berkisah, soal bis kota yang menjadi bagian hidup tak terpisahkan masyarakat perkotaan dan metropolitan kini kembali menghiasi puisinya, dan ia dengan berani memasukkan kata yang biasanya pada istilah kaum elit dan birokrat negarawan ke dalam dunia yang jauh dari kemewahan, karena memang bagian sederhana dari masayarakat biasa. 'Kucoba mengintegrasikan diriku ke dalam bis'. Integrasi, kata yang gagah masuk keringat penumpang bis kota. Agaknya permainan pilihan kata yang bukan sewajarnya ini menjadi hal yang patut pula dinikmati, seperti apa yang ditulisnya di baris akhir puisi ini: Pahit konyol, suka tak suka,/Perlu dinikmati! Walau tentu saja yang dimaksud Rahmat Ali tentulah kondisi susah bertranspor di dalam bis kota yang sesak dan berjubel penumpang berkeringat 'lengur serba tidak sedap', yang khas Rahmat Ali: puisi prosais.

6. Mungkin (2000): Ia berani memakai kata kekedepanan yang menjadi lawan dari keterbelakangan. Ada pula kata keberbedaan. Mengapa tidak keterdepanan? Mengapa tidak perbedaan saja/ mengapa harus jadi panjang sukukatanya hanya dalam satu kata yang mestinya bisa diperpendek dan mudah diingat hanya dengan pengucapan lebih singkat tanpa mengurangi makna karena makna keduanya sungguhlah tidak berbeda setidaknya berdekatan satu sama lain? Tapi itulah pilihan bahkan garis otoritas seorang penyair sebagai produsen kata-kata, mencipta dan memberi makna, yang barangkali tidak demikian berani dilakukan oleh pengguna kata seperti wartawan dan kalangan profesi lain. Hanya bedanya pada Rahmat Ali, makna kata ini masih bisa dimengerti karena ia tak pernah melepaskan katanya menjadi seorang diri di belantara kosong. Artinya ia selalu memberi teman, kata-kata dan kalimat yang lainlah sang teman ini.

7. Sajak Ngebut (1980): Ada kejenakaan di sini, satu kekuatan Rahmat Ali yang lain. Sosok sajak disandingkan dengan bis, sekali lagi bis: …./kuboncengkan sajakku/menggelantung pintu/sementara di bawah/roda laju/aspal tajam ancam/para penumpang beresak-desakan// Bukan, bukan diri seorang manusia, tapi ‘sekuntum’ sajak yang sudah dipersonifikasi oleh Rahmat Ali. Itu jadi jenaka, terlebih karena selanjutnya dengan lincah Rahmat Ali memprosa puisikan situasi apapun yang terjadi di dalam bis kota, meski terasa juga tak ada maksud berjenaka ria, tapi kondisi di situlah yang bercerita dengan sendirinya, tentang semua orang yang berlaju di dalam bis kota itu. Keberanian Rahmat Ali menempatkan kata yang unik dan tidak semestinya ada pada suatu situasi, membuat ingatan pertama kali ‘mencerna’ dan ‘mengesaninya’ dada pula dalam: ayo tancap/ sajakku lebih ringan kapas/ tidak memar hempas. Tidak ada keinginan bermetafora di sini tapi itulah apa adanya, potret di bis kota namun ada suatu yang di atas kenyataan atau realitas, karena ia bisa hadir tanpa seperti kehadiran manusia biasa, yang hanya mungkn ada di dalam benak, itulah sajak di bis kota yang ngebut, mendorong nasib buruk penumpang, tidak sebaik nasib si ‘sajak’.

8. Sajak Barbir (1980): Kalau tidak melihat di kamus, tak bakalan sebagian pembaca mengerti apa makna dari kata ‘barbir’; tapi untungnya meski tiada tahu maknanya biasanya suatu kata akan dimengerti bila membaca kesatuan utuh kalimat atau cerita sebagai suatu kesatuan kontekstual. Setidaknya konsep itulah yang banyak dijumpai pada puisi maupun cerpen Rahmat Ali. Juga pada sajak ini, sajak terpendek dalam kumpulan puisi ini, hanya enam baris, tujuh dengan judulnya, dan setiap baris hanya dua atau tiga kata, tapi yang namanya puisi memang sependek apapun, komentarnya tetap bisa sangatlah panjang. Ada kenangan tragis dari leher yang sekerat, risau yang mengkeret, yang mendorong tangan itu barbir, dan mau bertindak apa saja untuk mengatasi atau menyalurkan kegamangan itu. Ya, karena ia tukang cukur (barber, barbir) yang tiap hari menghadapi dan memegang kepala orang, leher orang, rambut orang.

9. Sajak Tentang Tiga Dunia (1959): Permainan sajak yang bisa diartikan bahasa teratur, bahasa ketat terasa di puisi Rahmat Ali ini. Persamaan rima awal dan rima akhir sungguh ketat diperhatikan di sini. Masing-masing dikelompokkan dalam bait sendiri-sendiri, ada tiga bait yang secara parallel gaya pengucapannya hampir mirip, tapi mengisahkan kondisi yang berbeda, dunia yang berbeda. Pengulangan kata atau suku kata dalam sajak memang suatu teknik tersendiri untuk memberikan tekanan kesan. Kesan itu akan membekas dengan detail uraian tentang kondisi yang dipaparkan, tiga dunia yang berbeda: masa sebelum kehidupan atau kelahiran hingga saat dilahirkan ke dunia, masa saat hidup yang penuh dengan segala macam penderitaan yang akan berakhir dengan maut, masa maut dan sesudahnya apa yang akan terjadi? Kekuatan kalimat dan kesatuan dengan kalimat yang bercerita lainnya, menjadi ciri Rahmat Ali dalam puisi ini.

10. Hei (1987): Kembali Rahmat Ali ingin bermain dialog di puisi ini. Dua insan dimabuk asmara mengapa saling menolak bila hal terelok sudah menjadi milik jiwa? Puisi ini bisa dinikmati dengan membacanya tenang, juga apalagi bila dibacakan dengan tekanan intonasi dan irama. Terasa dialognya, dialog cinta. Tapi cinta mereka di sini tidaklah cinta tembak langsung antar dua sosok, ada kalbu dan cinta yang bercinta. Ada bahasa puisi yang bermain-main di hati. Ngiang kata Hei, sapaan ini bisa terasa dalam susunannya sebagai pembuka menunjukkan puisi macam apa yang dimaui Rahmat Ali. Puisi dialog memang salah satu gejala di antara lebat belantara perpuisian kita, bukan semata puisi satu arah; kalau itu dilakukan pada puisi Jantuk, di sini ternyata masih suatu ungkapan perasaan satu arah, yang punya kalbu pada baris kedua.

11. Jantuk (1986): Lelaki dan istrinya, keduanya pemain Lenong Betawi yang dikisahkan Rahmat Ali dalam cerpen yang berjudul sama, saling mengutarakan isi hati tentang sosok guling yang berisi zat, roh , jiwa yang dari dunia lain, meski sekali lagi di depannya berujud guling. Saling berdialog lah mereka, tentang sejatinya Jantuk bagi mereka. Dalam bahasa puitis, dialog ini terasa beda dengan penuturan cerpen. pemenggalan anak kalimat, pembarisan, dan permainan rima, serta pemilihan kata untuk pada suatu saat menekankan suatu pesan, dilakukan Rahmat Ali yang mencoba membedakan dengan jelas, apa itu bahasa cerpen dan bagaimana pula bahasa puisi.

12. Biduanita Rock yang Molek (1987): Kita lepaskan bahasan kecenderungan berprosa dalam puisi Rahmat Ali kali ini, karena memang hal itu begitu nyata. Kita lepas bahasan pemenggalan kalimat jadi baris berbeda dalam tipologi di sini, karena itu sudah lazim dilakukan juga penyair-penyair lain. Kita lepaskan bahasan permainan metafora di sini, karena rata-rata puisi Rahmat Ali memang tidak gunakan jurus ini. Kita tajamkan pembahasan tema, tepatnya detil tema, karena di sini letak keunggulan Rahmat Ali, bahwa ia berhasil memotret susahnya kehidupan penyanyi berbalut gemerlap malam yang banyak dijumpai di Jakarta malam, ternyata sudah beranak tanpa tahu siapa bapaknya. Gejala jaman yang ditangkap Rahmat tentang kehidupan seks bebas. Entah kenapa.

13. Sajak Nglangut (1980): Kekuatan Rahmat Ali sebagai cerpenis mempengaruhi puisi-puisinya yang kalau tanpa permainan tipologi yang memisahkan kalimat utuh menjadi beberapa baris memberikan efek tertentu, menuntun pembaca pada penekanan-penakanan rasa dan kesan; atau permainan kalimat utuh dalam suatu prosa menjadi berkurang bagian-bagian anak kalimatnya, pendek-pendek menjadi kalimat berbaris sendiri-sendiri. Apapun, dalam puisi Rahmat Ali yang inipun terasa kisah atau stori alias ceritanya, dan ia berhasil melukiskan bagaimana dan apa yang terjadi bila seseorang nglangut. Kembali Rahmat Ali memakai bahasa Jawa, nglangut, suatu tindakan seseorang yang pikirannya mengembara. Tradisi kepenyairan klasik yang sungguh memperhatikan rima tampak di sini; beberapa baris berakhir kalimat bersuku kata sama, tiga baris berakhiran i, empat baris berakhiran at, dan seterusnya. Efek bunyi dicoba ia berikan, apapun ada pengaruhnya pada suatu kesan. Itulah puisi.

14. Pesta Jakarta (1975): Kembali kejelian Rahmat Ali menangkap suasana Jakarta membawa pembaca kembali ke tahun 1975 tergambar di benak, memori sejarah tentang Jakarta yang punya romantisme masalalu dan optimisme masadepan, dan seperti biasa dalam cerpen-cerpennya, kehidupan keseharianlah yang tak luput dari pengamatan. Juga, sejarah ! Rahmat Ali menguasainya dengan detil, khususnya pada hal yang unik, meriam jagur yang bisa memberi harapan cinta buat lelaki dan perempuan dalam segala problema. Kalau orang tak menguasai hal semacam ini, tak mungkin bisa menuliskan dengan lancar. Rahmat Ali terbukti punya merek dagang tersendiri.

15. Cah-cah Ayu dari Gunung (1987): Maka mempelajari puisi-puisi Rahmat Ali, kita tak perlu dibuat pusing pengistilahan puisi yang sepanjang pengamatan penulis setiap orang berhak punya penilaian sendiri tentang apa makna puisi dan apa puisi itu bagi setiap orang, yang secara garis besar dapat dikatakan suatu bahasa kesan, lebih memainkan rasa, bisa juga pikir tapi tetap bernuansa misteri, keindahannya seperti embun dan cahaya matahari pagi, kebetulan sesuai judul, keindahan wajah molek bocah ayu dari gunung. Permainan rima, irama, metafora, tipologi, memang tidak semua bisa diakomodasi dalam suatu bingkai puisi, tetap tidak menggulingkan suatu karya disebut puisi, yang penting nilai kesan yang tersampaikan oleh majas dan estetika dalam bangunan utuh suatu puisi, yang seringkali butuh keberanian memilih mau mengambil gaya yang mana. Asal tidak ragu, akan punya karakter sendiri. Dan, terfokus.

16. Semua Tunduk (1995): Tampaknya saat menjalankan ibadah Haji, Rahmat Ali
merasakan suatu ketakjuban luar biasa dalam dirinya saat ‘bertemu’ dengan Tuhannya. Ia tidak lragu lagi melukiskan kemahadahsyatanNya dengan pilihan-pilihan kata yang mencoba lain, dari hal mikro, mezo sampai makro ia coba ungkapkan puja-pujinya kepada Tuhannya. Puisi menjadi bahasa paling efektif untuk hal-hal semacam ini. Karena, puisi memakai suatu getar dalam rasa dan pemikiran yang terkadang mesti harus saling menunjang, bahkan sering tak bisa dilepaskan ikatan keduanya. Intelektualitas akan menunjang pemahaman bahasa-bahasa asing, aneh, tak lazim, atau membahasakan unsure-unsur alam yang sangat terkait secara erat dengan penciptanya. Puisi religius Rahmat Ali dari bertaburnya puisi-puisi bernuansa moralitas, kemanusiaan alias humaniora dan beberapa puisi cinta.

17. Zamzam (1995): Religiusitas dalam puisi, hal yang lumrah bagi penyair-penyair Indonesia yang memang berkultur atau minimal dikelilingi kultur agamis. Nilai yang diungkap lebih merupakan penegasan dari nilai-nilai yang ada, atau pengalaman batin yang berlatar belakang agama bersangkutan. Rahmat Ali memorikan air suci itu dengan gaya puisi klasik yang penuh rima sama. Pemilihan suku kata akhir yang sama butuh penguasaan kosa kata, kalau tidak terksan mencari-cari dan kadang bisa-bisa hampir mematikan kekuatan yang lain, karena tidak semua saat harus berima ini, ada kalanya membiarkan permainan makna kata yang bermakna sama, berdekatan, rumpun berdekatan, berlawanan kata, klimaks dan antiklimaks, ironi, sarkasme, bahkan kejutan-kejutan dengan kata-kata lucu yang terbingkai sesuai konteks dan alur pesan yang diberikan. Kembali kali ini Rahmat Ali memakai rima akhir yang sama.

18. Ajari Lagi (2000): Kegelisahan antara baik dan buruk muncul di puisi ini. Hal mempertentangkan semacam ini merupakan suatu teknik yang banyak dipakai, untuk memberi konflik yang merupakan nafas utama suatu cerita maupun bahasan sastra. Puisi ini pendek, bahkan bahasannya jauh lebih panjang. Yang ditonjolkan ketidakberdayaan manusia kini, yang ternyata masih butuh pegangan dari orang terdahulu, apapun dan siapapun mereka, yang oleh Rahmat Ali disebut rasul dan nabi. Kerinduan dalam puisi memang kadang bisa membodohkan manusia saat ini, kalau menelan mentah-mentah akan tampak semua begitu mudah diatasi hanya dengan kembalinya sosok pengingat itu, bukan pada konflik kejiwaan yang menggiring niat sebenarnya manusia kini pun bisa melakukannya, asal tahu betul, yang digerakkan adalah hatinya dengan puisi, sebagai langkah awal suatu tindakan, bila memang Rahmat Ali ingin ada penyadaran religiusitas di sini.

19. Ka’bah (1995): Masih puisi agamawi, kini ditekankan agamawi, tidak sekedar religiusitas karena religiusitas lebih bermakna luas sedangkan agamawi lebih terkait dengan agama yang dianut, yang semestinya juga diungkap untuk puisi Zamzam. Pengalaman batin seseorang memang modal utama untuk menulis puisi, dengan majas dan ditambahi wawasan estetika yang cukup, ramuan ini bisa mengekspresikan pengalaman batin itu, dan dituangkan dalam tulisan yang akan bisa pula dinikmati pembaca yang kalau pengalaman empirik dan kognitifnya mendekati atau banyak persamaan dengan yang dialami penulis, maka sentuhan sinyal yang meraba imajinasi itu tak akan jauh beda yang artinya sinyal puisi itu akan bisa dimiliki, dan yang bersangkutan bisa punya kesan, suatu nilai keberhasilan suatu puisi. Menyentuh, menggetarkan, meninggalkan kenangan, sebagai suatu syarat mutlak dari tingkatan karya sastra bernilai paling tinggi. Kenangan. Tidak mudah lapuk jaman. Abadi.

20. Ninabobo untuk Nabila (Usia Dua Bulan) (1997): Rahmat Ali meminta burung, bajing, musang untuk memberi pelajaran tentang bersahabat dan hidup bersama alam untuk menidurkan bayi; memperkaya cara meninabobokkan anak-anak, tidak dengan satu metode melagukan lagu nina bobok saja, membacakan majalah saja, atau mengelus-elus saja. Tapi, juga dengan bercerita yang secara sinyalistik akan didengarkan oleh anak meski secara verbal anak itu belum mengerti tapi secara kejiwaan bisa merasakan klagu cinta yang imajinatif dan membawa ke alam indah bersama makhluk-makhluk yang bersahabat dan menggembirakan yang sering dikenal anak dalam gambar atau film kartun sangatlah lucu, menyenangkan. Imajinatif.

21. Yang Tertundung (1996): Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Itu yang diprotes Rahmat Ali terhadap sikap bangsa ini yang tidak menghargai mereka. Meski tidak tersurat, hal ini tersirat dengan gamblang, bagaimana nasib para veteran pejuang yang dulu turut memerdekakan bangsa ini, terlunta-lunta tanpa penghargaan bahkan untuk hidup layak saja tidak bisa. Temanya sangat jelas, kekuatan tema memang andalan Rahmat Ali, sementara bentuk-bentuk puisinya memprosa, sekali lagi tampak di sini.

22. Balada Bersekolah yang Beratap Langit (2004): Tema umum tentang kekuasaan yang korup, serakah, semena-mena yang lupa daratan namun diingatkan semua hanya sementara dan sesudah itu pastilah semua sia-sia. Kekuatan Ali di sini menggunakan kata bahasa lisan ‘Lu’ sebagai kata ganti diri kamu. Dilakukan pengulangan, maka ia mendeskripsikan ketidakberesan apa yang dilakukan ‘Lu’ dalam menghadapi keseharian, bersikap terhadap orang lain, lingkungan, masyarakat, sistem. Sebagai kritik sosial puisi inipun membawa nilai yang sudah umum di masyarakat. Kekuatannya, Rahmat Ali sekali lagi menunjukkan kemampuan memotret rinci yang harapannya membangun imajinasi untuk mengenali apa-apa saja wujud fisik yang acap jadi gambaran utuh suatu rasa atau sikap. Dan Rahmat Ali jeli menangkap obyek penggusuran sekolah rakyat.

23. Sajak Kasur (Jakarta, 6 Nopember 1980). Yang paling nikmat dalam membaca sajak-sajak Rahmat Ali adalah ceritanya. Cerita apa yang ingin ia sampaikan, karena barangkali pembaca tidak pernah menjumpai hal semacam. Ia piawai bercerita tentang kondisi yang dijumpai, ia suka bercerita tentang hal kecil dan detail, ia suka bercerita tentang kisah-kisah sederhana dari masyarakat menengah ke bawah, walau ada kalanya bercerita tentang kalangan atas walau itu sedikit sekali. Dari situ yang tampak jelas jadi salah satu ciri khas Rahmat Ali adalah ingin menggarisbenangmerahkan suatu benda dengan orang. Dalam puisinya ini ia berkesan cerita tentang bantal dengan seorang pembajak sawah, kuli penanam bibit, seperti petani kuli sawah, tapi di sini bukan di sawah pedesaan yang luas lahannya. Aneh, sajak kisahnya tentang mirip-mirip kuli tanam tapi di kota, yang notabene ladang lahannya sempit. Bisa jadi puisi kisah tukang kebun, tapi lebih terasa puisi perjumpaan Rahmat Ali di Jakarta dengan petani-petani lahan tidur atau lahan sempit yang ternyata bisa menghidupi rakyat kecil di kota, yang punya satu sahabat setia: kasur, tempatnya mencari dunia lain. Dan kasur sangat setia untuk peran itu bagi si rakyat susah sejak kelahiran entah sampai kapan.

24. Si Bikini (Jakarta, 5 Juni 2004). Puisi memang ternyata bahasa bebas. Semula lebih terikat kaidah bentuk bersajak yang artinya terikat oleh garis-garis keteraturan dalam rima, irama, tipologi, dengan banyak persamaan antara unsur-unsur baris satu dan berikut dan sebagainya yang tampak pada syair-syair, pantun, talibun, gurindam sastra lama. Tapi para pembaharu sastra lebih mengikuti aliran hati untuk membuat dan menyampaikan kesan yang diraihnya dalam suatu peristiwa, rasa, lukisan suasana dan sebagainya. Maka kalaupun tampak menjadiseperti narasi atau bercerita pun tidaklah menjadi masalah lagi. Memang kalau puisi tak punya arti yang bisa dimaknai akan menjadi kurang berarti transformasi yang diharapkan pada diri pembaca. Maka bagaimana caranya suatu kesan itu sampai, sah-sah dan bebas-bebas saja sang penyair menciptanya. Dan ini kembali dilakonkan oleh Rahmat Ali. Ia bercerita tentang rasa melihat suatu rahasia yang bertabir di balik bikini wanita. Tetap ada rasa di situ. Itulah puisi. Ia lepaskan dari tipologi baris dan bait, ia luncurkan dalam alunan kata seperti prosa yang mengalir. Ia hentikan pada suatu sentakan. Terlalu lama menunggu rahasia itu memuaskan penasaran.

25. Tak Lagi Mencium Rahim Bumi (Jakarta,12 Juni 2004). Pastilah Rahmat Ali kembali mengamati dengan sangat cermat lingkungan tempat ia biasa berpelancong atau menelusur lekuk-lekuk perkampungan padat yang dibelah sungai-sungai yang tak lagi layak disebut sungai kecuali layak sebagai tempat sampah raksasa. Sungai, yang dulu merupakan sumber hajat air bersih bahkan menjadi sarana kehidupan makhluk air, transportasi manusia dan sebagainya kini tak layak lagi menjadi sahabat terdekatnya. Ia telah menjadi monster yang begitu menakutkan dan siap melumat siapapun individu dan komunitas di dalamnya, tak lagi menjadi anak bumi yang ramah memberi kesegaran hidup. Di sini Rahmat Ali memainkan puisinya yang lain, secara tematik ini baik untuk dikelompokkan dalam tema-tema lingkungan, tetap dengan gayanya yang khas, dengan suatu seruan menegaskan di ujung deretan kalimat puisi yang panjang, plus tanda seru!