Judul Buku: Lan
Jenis: Novel
Penulis: Stebby Julionatan
Penerbit: Bayumedia Publishing
Cetakan pertama: Januari 2011
Tebal: 202 + viii halaman
Ukuran: 12,5 x 19 cm
__________
Resensi Buku
MEMBURU (WAJAH) EKSISTENSI
dan REINKARNASI
Oleh: Yonathan
Rahardjo
Kata kunci untuk
Novel Lan karya Stebby Julionatan adalah cinta, eksistensi, kematian, dan reinkarnasi.
Dalam novel ini remaja tanggung Erlan merasa bahwa cintanya kepada Maria adalah
sebuah reinkarnasi, yang mana pencarian eksistensi makna cinta dan hidup mereka
ujung-ujungnya juga butuh kematian dan reinkarnasi kembali.
Pada bab-bab awal
Novel Lan, Erlan sebagai tokoh utama yang cinta malu-malu kucing kepada Maria
–yang sebaliknya cinta dengan lebih berani oleh karena budaya berbeda– diceritakan beberapa fragmen kisah
hidupnya. Fragmen itu antara lain pertemuan Lan dengan Maria, kegiatan di
sekolah, kedekatannya dengan Galih, kerjanya di Om Jaya, dan tentu saja
mimpi-mimpinya.
Erlan punya kisah
kocak mimpi basah dan mimpi bercinta dengan teman yang tidak diinginkan,
diceritakan oleh Stebby Julionatan dengan ketrampilan menulisnya. Munculnya
benih cinta kepada Maria pun akhirnya membawa Erlan menyatakan tentang
mimpi-mimpinya bersama Maria. Erlan yang melihat dirinya dan Maria dalam
mimpi-mimpinya sebagai tokoh-tokoh dari berbagai jaman yang mengalami tragedi
cinta ala Romeo dan Juliet, dengan problem-problem dan latar-latar berbeda
sesuai jaman masing-masing, menyadari hal ini sebagai reinkarnasi demi
reinkarnasi diri mereka.
Mimpi-mimpi –dan
’mimpi sadar’– itu diceritakan sebagai cerita mandiri dalam tujuh (7) bab. Mimpi
memang misteri, tapi apa dalam kenyataan ada mimpi serinci itu sehingga
merupakan bagian misteri dari mimpi? Agaknya selanjutnya mimpi-mimpi dalam 7
bab itu sudah diterjemahkan dan dilengkapi sana-sini dengan penanggalan
informasi, catatan sejarah, selengkap dalam bab-bab ini laksana ensiklopedia
umum.
Pengisahan
mimpi-mimpi dalam tujuh bab sendiri itu boleh saja dibilang sebagai satu metode
penulisan, pembabakan dan pilihan alur. Tampaknya kecenderungan ini berlaku
bagi banyak model penulisan oleh berbagai penulis masa kini. Seolah-olah,
ketrampilan menulis dan merangkai jalinan kisah sehingga menjadi satu kesatuan
benang merah dengan perwatakan, konflik, debaran dan kejutan, dan terutama
ketrampilan menulis dalam satu rangkaian hidup dengan kekinian Erlan tidak
perlu lagi atau perlu dicari alternatif kontemporer (yang akhirnya juga ketemu
benang merahnya, dengan kekuatan berbeda) semacam itu.
Memang itulah
yang dianggap contoh sebagai temuan tulisan kreatif yang melepaskan diri dari
belenggu penceritaan klasik yang utuh dan jalin-menjalin. Setelah tujuh bab
terpisah-pisah itu, untuk kembali ke kehidupan Erlan masa kini yang punya
problem cinta terkait dengan reinkarnasi, rupanya penulisannya minim
penggambaran intensitas hubungan dengan Erlan, konflik kejiwaan, konflik konsep
reinkarnasi yang sama-sama dirasakan keduanya. Malah cerita berbelok ke masalah
keluarga Erlan dan papanya yang suami ibu Galih, sahabatnya yang ternyata
saudara satu papa ini.
Kemunculan Maria
digantikan dengan kemunculan Lita, gadis yang juga mencintai Erlan seperti
Maria, bahkan lebih lama dalam bersahabat. Baru setelah itu Maria muncul dengan
pengadeganan yang mendebarkan bahkan sampai terjunnya Maria ke laut disusul
Erlan. Di sini muncul kilasan-kilasan kalimat kematian dari tujuh bab mimpi
Erlan, pun tidak ada penceritaan secara tertulis sebagaimana lazimnya cerita
dengan unsur kalimat dan hubungan antar kalimat secara sempurna.
Kilasan-kilasan kalimat kematian muncul ala pointer
powerpoint, mengiringi adegan Erlan yang terjun untuk menyelamatkan Maria
yang tidak muncul-muncul dari dalam air.
Sebelum ditutup,
novel menampilkan adegan dan dialog Erlan dan Galih, yang mana Erlan memaknai
cintanya bisa menjadi sempurna hanya dengan kematian yang menjadi pintu masuk
ke reinkarnasi demi reinkarnasi sebagaimana yang muncul dalam mimpi-mimpinya. Ada
semacam pencarian eksistensi makna kehidupan di sini, bahwa makna kehidupan ini
baru sempurna dengan adanya kematian untuk masuk kehidupan berikutnya dengan
reinkarnasi baru.
Terkait dengan
tema utama ini, hukum-hukum reinkarnasi patut dieksplor lagi baik yang pro
maupun kontra. Hal ini untuk menghindari kesan reinkarnasi pada tokoh-tokoh
dalam tujuh bab mimpi atau penglihatan saat sadar itu bersifat tempelan yang
disama-samakan kasusnya terutama dengan konflik cinta yang dialami Erlan dan
Maria yang ”tidak berdarah-darah” sebegaimana konflik pada tokoh-tokoh dalam
mimpi-mimpi itu.
Memang bila
pengetahuan pembaca cukup tentang konsep reinkarnasi, pembaca dapat berpikir –misalnya–
reinkarnasi Erlan dan Maria bisa jadi merupakan proses reinkarnasi dengan
konflik yang paling ringan dan “tidak lagi berdarah-darah” sebagai penyucian
sisa-sisa karma yang ada untuk menuju kesempurnaan. Namun dalam novel Erlan
tidak ada jembatan untuk pemahaman penyucian karma ini.
Tentang
reinkarnasi yang kontroversial dalam pandangan berbagai agama pun tidak diceritakan
konfliknya secara bernas, padahal begitu banyak comotan pernyataan dan
penulisan ulang dengan cara bebas dari berbagai agama termasuk yang anti reinkarnasi.
Hal ini pun dapat menjadi contoh banyak peluang dan halaman untuk menuliskan
hal-hal yang secara langsung berkelindan dengan masalah utama dalam novel ini,
gantinya menuliskan hal-hal yang merupakan bunga pengembangan cerita yang makan
banyak halaman.
Sementara
kecenderungan untuk menggampangkan penyelesaian konflik cinta –yang lemah– dari
Erlan dan Maria mungkin juga terkena oleh penyakit tergesa-gesa sang penulis ingin
menunjukkan eksistensinya seperti diakuinya dalam kata pengantar bahwa penerbitan
novel ini memang bertujuan menunjukkan eksistensi. Mungkin juga ketergesa-gesaan
penerbit yang tidak melakukan koreksi pengetikan huruf penyebab munculnya
begitu banyak salah ketik yang mengganggu mata.
Penyakit-penyakit
ini mencederai hasil penulisan Stebby yang teknik menulisnya yang cukup cerdas
dalam hal-hal pokok berbahasa kreatif dan menunjukkan ketrampilan mengolah kata
yang secara efektif mencipta kesan dan suasana yang kadang mendebarkan, konyol
dan bikin gemas. Mencederai pula penulisan ulang dengan versi sendiri dari berbagai
cerita yang dapat dirasakan dan ditebak terinspirasi dari berbagai berbagai sumber
legenda dan sejarah atau cerita dan kutipan-kutipan ayat kitab suci, lagu,
kata-kata bijak dan sejenisnya (dengan pengakuan jujur dilambari penulisan memakai
huruf miring disertai referensi-referensi).
Pentingnya
masukan tersebut juga bermakna supaya tidak terjadi cerita salah jaman. Seperti
diceritakan dalam salah satu mimpi Erlan, jaman kemerdekaan kok pejuang TNI
melawan VOC –yang sudah bangkrut dan berakhir pada tahun 1799–.
Akhirnya, kata
kunci untuk resensi ini, teliti, tidak tergesa-gesa, adon kue novel untuk
mendapatkan alternatif novel yang lebih kompak dan hakiki, tidak sekedar tampil
secara wajah. Karya kreatif memang butuh dan punya banyak alternatif. Novel Lan
sudah menempati porsi salah satu alternatif dan masih banyak model alternatif
yang dapat dimunculkan dari berbagai keberagaman potensi.
Bila ingin karya
kreatif menjadi master piece, apapun pilihan
dari berbagai alternatif itu mesti mampu menggocang pikiran, perasaan dan
kehendak. Butuh kemampuan analitik, sintetik dan kritis yang boleh dikata
merupakan asumsi metodologi bidang kesusastraan sebagai bagian dari humaniora dan
dapat dimiliki melalui proses secara terus-menerus.