Judul Buku: Margendut Sayang
Jenis: Antologi Puisi
Pengarang: Prawoto R Sujadi
Penerbit: Baca Boekoe Publishing (Prawoto Network)
Terbit: Cetakan I, Juni 2012
Tebal: 136 halaman
Ukuran: 9x16 cm
=====
MANTRA CINTA PAWANG RINDU
Oleh: Yonathan Rahardjo, Pengantar Buku
…//di
lubang telinga/ mesra terdengar/ menggetarkan asa,/ memenuhi perintah agama,/
menjadi ibadah kita bersama// katamu saat kau meng-iya-kan ku// (Puisi
Meng-iya-kan). Puisi Prawoto
R Sujadi ini menjadi bukti, setiap orang yang sedang pada puncak jatuh cinta
akan mampu menuliskan puisi yang berenergi, bertenaga. Energi yang sama yang
memampukannya menulis puisi sebegitu banyak dan semuanya tentang cinta baik
dikatakan kepada yang dicintainya, kepada diri sendiri, kepada orang lain.
…//terserah kalian akan
mengatakan apa/ aku hanya menulis/ merangkai kata/ semua mengendap begitu saja/
dalam rasa dan logika// ...//merangkai kata adalah seni/ ini adalah seni
mengungkapkan/ini adalah seni menyampaikan// ini caraku,/ silahkan saja cara mu
(kalian) sendiri/ jika kau suka nikmati saja.// (Puisi Jalan Pulangku). Puisi ini dituliskan Prawoto R Sujadi untuk orang lain
itu, bukan untuk dirinya sendiri atau untuk kekasihnya yang membuatnya
berenergi kuat dalam cinta mereka. Bahwa, ia sudah memilih jalan puisi untuk
mengekspresikan hakekat jajaran utama hidupnya. Pernikahan atas dasar cinta,
adalah hal terbesar bagi diri semua orang termasuk Prawoto, kedua setelah
pengakuan iman agamanya yang dimulai dari pengakuan terhadap Tuhannya.
…//Lewat
kata dan doa/ kau menjadi "pawang hujan"// (Puisi Batu & Air). “Pawang hujan”, dua kata satu makna dari puisi Prawoto R Sujadi ini
saya yakini menjadi pintu masuk "menuju kredo"-nya dalam berpuisi
-sebagai jalan hidupnya- dengan berdoa laksana mantra yang diulang-ulang dalam
banyak puisi yang berbeda dengan pengungkapan isi hati yang sering sama dalam
gaya yang sama atau mirip.
Saya mengatakan itu "menuju kredo", menuju konsep berkesenian
dia, karena memang itulah yang dilakukan dengan intensif tanpa kenal menyerah
oleh Prawoto. Ia menulis semua isi hati dan pikirannya (rasa dan logika-nya)
tentang kekasihnya dan
hubungannya dengan kekasihnya
yang dalam buku kumpulan puisi ini dipanggilnya dengan nama kesayangan
Margendut. Rasanya, impresinya, kenangannya, rindunya, kegelisahannya,
kebahagiaannya, senyumnya, tatapan matanya, mesranya, manjanya, airnya,
batunya, dan banyak lagi kesamaan yang diulang dalam puisi beda.
Selain kesamaan gaya, pemilihan kata, tema, juga judul. Dari judul saja ada
11 judul puisi yang menyebut kata Rindu: Berbalut
Rindu, Angin Rindu, Energi Rindu, Deru Rindu, Rindu Bersamamu, Terpasung Rindu,
Memadu Rindu, Aliran Rindu, Pelengkap Rindu, Ada Rindu, Kutitipkan Rindu.
Boleh saja Prawoto tidak menyadari hal ini, bahwa diksi atau pilihan katanya
banyak merujuk pada kata-kata yang sama itu. Boleh jadi pula, sama demikian
halnya dengan pesan yang disampaikan. Sangat kontekstual bila munculnya kata
dan pesan yang dipilih secara sama oleh karena suasana hatinya yang serba sama
berkat rasa cinta yang berbunga-bunga, kasmaran, sebagai dua sejoli yang sedang
mabuk eros menuju jenjang pelaminan.
Bagaimana dengan kata ”Cinta”? Tidak
harus diverbalkan dalam kata cinta, jelas semua puisi dalam buku kumpulan puisi ini adalah puisi cinta. Wujudnya
dan tanda-tandanya dapat macam-macam, dengan berbagai pilihan kata tadi, juga
peristiwa-peristiwa, latar, rasa yang berjuta. Namun kata cinta itu juga
bertabur dalam tubuh puisi-puisinya. Sedang dari
judulnya saja, yang mengandung kata cinta ada 8 puisi: Memulai Cinta, Hujan Cinta, Rona Cinta, Lukisan Cinta, Tentang Cinta, Ikatan
Cinta, Pohon Cinta, Menyapa Cinta,
Boleh kalau Sutardji Calzoum Bahri terkenal dengan puisi mantranya oleh
karena penggunaan kata yang diulang-ulang dalam tiap
puisi dan membebaskan kata dari
makna dan makna dari rangkaian kata yang menjadi mantra. Boleh juga kan kalau secara subyektif saya menyebut
puisi-puisi yang doa Prawoto dalam buku ini adalah mantranya, malah mantra
bersambung. Mengapa mantra bersambung?
Memang,
mantra dalam puisi Prawoto bukan seperti mantra dalam puisi Sutardji yang membebaskan
kata dari makna dan mencipta dadaisme sebagai akar dari pengucapan ─yang sangat
terasa dari kata dan ucapan yang mirip yang diulang-ulang dalam satu puisi,
baik yang berarti maupun tidak─. Namun kalau semua puisi Prawoto dalam buku ini dibaca secara
langsung berurut atau bersambungan dia sudah menjadi mantra oleh karena terasa
pengulangan-pengulangannya baik kata, isi, pesan, maupun temanya. Selain contoh
yang bertabur tadi, ambil contoh lain pengulangan tentang air dan batu yang
diungkap puisi "Memulai Cinta" (seperti dikutip di atas) dalam puisi
lain: …//Kau “BATU” .../ Aku “AIR” ...//
kau membatu, ku kan mencair// (Puisi Batu & Air)
Adapun sebagaimana banyak penyair yang cenderung menulis secara liris ala
Sapardi Djoko Damono, Prawoto pun ada kalanya mengungkap kata yang menuju liris
atau curahan perasaan dalam puisi-puisinya. //Aku
air/ yang kan melerak/ masuk dalam ragamu/ Kau batu/ membuatku tegar dan
menguatkan// (Puisi Memulai Cinta). Atau dalam puisi "Memainkan Nada"
// Aku adalah biola/ engkau adalah dawainya/ siang dan malam menjadi penggesek/
mengalunkan nada kedamaian/ mengalir seirama angin/ dalam lakon kehidupan//.
Namun puisi-puisi Prawoto R Sujadi tidak menjurus kepada penciptaan imaji
oleh curahan hati semata. Ia juga memainkan logika atau pikiran. Imaji yang
tercipta pun tidak laksana imaji yang dicipta Sapardi dengan puisi lirisnya
yang maestero. Permainan sintaksis (susunan kata untuk membentuk makna dan suasana)
puisi Prawoto pun tarik menarik antara pun curahan hati dan pikiran. Bahkan itu
disadarinya sendiri dengan menuliskannya dalam banyak puisinya selain
"Puisi Jalan Pulangku". Contohnya dalam puisi "Memadu Rindu" …//bermodal hati, menabung pikiran/ dalam
sikap dan tindakan/ mencipta senyum yang takkan terlupakan//…, dan banyak
puisi lain.
Dalam puisi "Di Ujung Perang", Prawoto R Sujadi menulis: …//senjataku adalah prinsip/ perisaiku adalah
penghormatan/ jurusku adalah cinta/ kesaktianku adalah saling bicara//…. Agaknya di sini kunci untuk membuka pintu
masuk “menuju kredo”-nya dalam berpuisi di atas. Kalau Prawoto mengatakan
kekasihnya (yang “batu”) adalah ”pawang hujan” karena ia (Prawoto) ”air”, maka
soal rindu dan cinta, Prawoto adalah “pawang rindu” yang “berjurus cinta”. Karena
jurus cinta ini diwujudkan dalam kesaktiannya (saling bicara) yang tak lain
adalah puisi yang menuju kredo “mantra bersambung”, maka sesungguhnya cinta
itulah mantranya.
Mantra ini akan selalu diucapkan Prawoto dalam puisi-puisinya yang
selanjutnya terutama dalam puisi hidup-nya dalam wujud cinta kasih suami istri
dalam bahtera rumah tangga. Maka
makin jelas makna “Mantra Cinta Pawang Rindu” ini dirasakan dengan membaca
puisi untuk Margendut-nya, yang ternyata punya nama asli yang sangat manis
pencipta segala rindu Prawoto.
Ini ada dalam puisinya yang berjudul “Sela”
...//detik bersela, detik, ada sela/ namamu lalu detik, sela, detik,/ dan
namamu tercipta/ ada di antara detik/ sela, detik//...
Dan mantra itu akan terus menjadi doa seperti ditulis Prawoto R Sujadi
dalam puisi ”Perjalanan Doa”… //di sudut hati/ ada namamu
yang terus saja melekat/ untuk waktu dan
demi masa,/ yang terus saja melaju/ aku dan kamu/ merencana dalam
sketsa/ Semua telah ditulis Sang Esa// ku telah berusaha/ menyebutmu dalam
perjalanan doa// Shellalizha...Shellalizha...
*
No comments:
Post a Comment