Tuesday, May 8, 2012

BARANG YANG SUDAH DIBELI TIDAK DAPAT DITUKAR KEMBALI, Stebby Julionatan



Judul Buku: Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali
Jenis: Kumpulan Kisah
Pengarang: Stebby Julionatan
Penerbit: Bayumedia, Malang
Terbit Pertama: Januari 2012
Ukuran Buku: 13,5 x 20 cm, xvi + 80 hal
 

=============

MENULIS HAL BIASA DENGAN CARA TIDAK BIASA

Oleh: Yonathan Rahardjo
Materi Bedah Buku, Radio Suara Kota Probolinggo, Sabtu 14 April 2012
Biarkan puisi dan cerpen yang ada dalam buku ini merasuki jiwamu dalam pembacaanmu. Akan kau temukan makna yang membekas dalam dirimu bahwa Stebby Julionatan punya kekuatan dalam karya tulis kreatifnya yang betul-betul kreatif. Ia tulis hal biasa yang mudah ditemui dalam keseharian hidup sehari-hari dengan cara yang tidak biasa, berbagai cara.
Hal-hal biasa dalam buku “Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali”, terasa dari kasus-kasus cinta yang diungkap dalam cerita-ceritanya. Ambillah contoh tentang cinta segitiga dan niat kawin lari -yang gagal- dalam cerpen "Aku, Kamu, Dia: Merayakan Cinta". Kisah ini populer dalam khazanah cerpen. Tapi coba amati cara Stebby menuliskan daya ungkapnya. Tanpa banyak deskripsi lingkungan ia tulis pergerakan pikiran dan sikap tokoh-tokohnya dalam dialog dan monolog. Secara hemat Stebby menggolongkan giliran tampil tokoh-tokohnya dengan sub judul: aku, kamu, dia dan mereka! Cara yang sama dilakukannya pada cerpen "Antara Politik, Gado-gado dan Selingkuhan." Mengamati berbagai metode penulisan cerpen, cara tempuh Stebby ini sangat jarang dilakukan oleh para cerpenis.

Cerita-cerita lain dalam buku ini tidak ditulis dengan metode tersebut, namun terasa cara tulis yang tidak biasa pula dari sisi pergerakan pikiran dan sikap itu, hemat, tepat guna dan berdaya magis liar, setengah gila, orisinil dan jujur. Jujur dalam arti Stebby tidak canggung untuk menulis ulang kutipan-kutipan referensi dengan sumber-sumbernya di tubuh cerpen. Ambillah contoh kutipan cerpen "Sepanjang Braga" karya Kurnia Effendi pada cerpen Stebby "Cukup Sepanjang Suroyo Saja, Bersamamu." Atau penulisan bebas nas Alkitab tentang penciptaan manusia dan pencobaan terhadap Adam dan Hawa, serta dongeng cermin ajaib dalam cerpen Stebby berjudul "Cermin". 
Jelas juga, kidah-kisah dalam cerpen Stebby itu juga kisah biasa atau populer. Namun, coba mencebur dan berenanglah dalam untaian kata dan kalimat dan hubungan-hubungannya di situ. Jelas ini bukan metode penulisan yang populer. Istilah lainnya: ini sastra -menyitir penabalan klas antara cerpen populer dan cerpen sastra oleh para pengamat-. 
Dalam hubungan antar alinea, Stebby seperti tidak membutuhkan deskripsi-deskripsi penghubung pergerakan fisik tokoh-tokohnya. Ia langsung menghunjam pada pikiran-pikiran baru namun suasana tetap terbangun, dan yang lebih penting: pesan yang disampaikan, sampai.  Dan yang paling penting bagi sebuah nilai karya sastra: Kesan! Ceritanya membekas!
Dibumbui gaya realisme magis pada cerpen "Barang yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Ditukar Kembali', kesan yang membekas ini terasakan dengan kegilaan hati perempuan yang menghadapi suami yang impten -tanpa satu pun kata impoten disuratkan namun tertangkap pesannya-, lalu kematian kekasih gelapnya, dan ketelanjangannya di depan umum hanya untuk memiliki keranjang bambu, dan meluasnya tanda lahir suaminya, serta penuhnya keranjang bambunya dengan suatu "barang" yang misterius! Apa itu? Tak butuh jawaban, dari kisah sebelumnya dapat diraba-raba sebetulnya apa itu. Tak penting apa konkritnya, kesan magisnya terasa dari kisah rumitnya cinta.
Membaca kumpulan cerpen memang kita butuh fokus dalam satu cerpen, menggali segala hal dalam satu cerpen itu. Setelah merasakan segalanya dari satu cerpen itu, maka boleh kita pindah ke cerpen lain, dan seterusnya. Dengan cara ini, beragam cerpen dari 12 kisah ini pasti punya corak sendiri-sendiri. Dalam kumpulan kisah ini Stebby bertema pikir pengetahuan dan cinta yang saling menyeimbangkan dan menggenapi sesuai dengan kata pengantarnya.
Setelah mencermati isi cerpen dengan visi Stebby ini, sah hal ini diungkap. Cinta memang tema utama dan dalam bangunan cinta ini ada berbagai pengetahuan penunjang, pelengkap, atau pemberi warna bahkan penghubungnya dengan kepedulian terhadap lingkungan. Jadi tidak semata-mata egoisme cinta yang terlepas dari tanggungjawab manusia sebagai makhluk sosial. Setidaknya, meski tidak kental masalah eksternal cinta ini, tertulis dalam cerpen "Semenanjung Asa". Sekaligus simbol-simbol pengetahuan di sini menunjukkan adanya lokalitas Probolinggo, pemberi warna khas, "Ada lho sastra Probolinggo!"
Pulau Gili pada cerpen ini pernah diangkat sebagai latar novel "Mentari di Atas Gili" oleh Lintang Sugianto (2007). Ada pula kepedulian sosial sang penerima trofi "Kalpataru" di cerpen Stebby berlatar Gili ini. Lokalitas Probolinggo juga jelas tampak pada cerpen "Cukup Sepanjang Suroyo Saja, Bersamamu", bahkan dengan berbagai gedung di Probolinggo yang secara eksplisit disebut Stebby. Stebby dengan berbagai profesi dan prestasinya memang identik dengan Kota Probolinggo. Ia pegawai Pemda, redaktur majalah "Link-Go", penyiar radio, "Kang" Kota Probolinggo, anggota dewan pendidikan kota, novelis dan cerpenis. Kepedulian lingkungannya semacam tanggungjawab yang melekat pada dirinya.
Ke depannya bila penggarapan tentang nafas Probolinggo dalam sastra ini lebih intens digarap, bakal bisa meniru jejak sastra Belitung berkat novel-novel Andrea Hirata tak cuma sekedar tetralogi Lasykar Pelangi. Dengan pemilihan tema dan daya ungkap dalam kumpulan cerpen Stebby ini, guna menyastrakan Probolinggo agaknya perlu diperjelas setting-settingnya. Kasus-kasus pada cerpen-cerpen Stebby terasa sebagai kasus-kasus cinta universal dan ada upaya lokalitas dengan dialek-dialek lokal pada beberapa cerpen.
Hal-hal biasa yang ditulis dengan cara tidak biasa ini dapat didedah lebih lanjut secara intrinsik, yang pasti selain muncul kelebihan pasti juga ada kekurangannya. Pernyataan ini untuk mencegah terjadinya pujian semu penulisan esai hasil pembacaan terhadap karya Stebby agar tidak menjerumuskan kreativitas Stebby pada kemandegan proses.
Untuk mengritisi lebih dalam sisi intrinsik karya akan butuh waktu dan ketelanjangan lagi. Sementara, kritik pada kemasan antologi akan dibalut dengan pujian terhadap keberanian kompilasi memadukan 2 puisi di awal dan akhir kumpulan kisah sebelum kisah ke 13 yang merupakan PR -pekerjaan rumah- bagi pembaca untuk mengirimkan kisahnya kepada Stebby. Puisi-puisi dan cerpen-cerpen ini dilabeli "Kisah", perlu dijelaskan oleh penulisnya tentang pemaknaan kisah menurut versinya. Memang dengan puisi dan cerpen, kisah dapat disampaikan. Namun sejujurnya perlu dijawab apakah keberanian ini tidak mengganggu pembacaan kisah?
Kita tidak membicarakan disain visual yang memang menabalkan buku Stebby Julionatan ini memang benar-benar buku kreatif. Meski, saya yakin, Stebby tak tinggal diam tentang hal ini sebagai bagian dari kreativitasnya yang di antaranya ditunjukkan bak kreativitas tulisan termasuk pemilihan judul-judul tiap cerpen yang juga tidak biasa, panjang-panjang. Secara garis besar kreativitas, tulisan Stebby (29 tahun) mengingatkan saya pada kreativitas Gabriel Garcia Marques yang pada umur 19 tahun sudah menulis novel "Badai Daun" yang dikumpulkan dalam satu judul buku bersama cerpen-cerpen dan monolognya. Tentu, saja dengan kejelian cara ungkap yang berbeda.
Cerpen-cerpen Marques sangat kuat deskriptifnya, suatu hal yang nyaris tidak dilakukan oleh Stebby. Namun pemilihan judul cerpen-cerpen mereka nyaris senafas, rata-rata panjang-panjang. Bandingkan judul cerpen-cerpen Stebby yang telah disebutkan tadi dengan judul cerpen Marques yang panjang, berupa frase. Contohnya: "Balacaman yang Baik, Penjaja Keajaiban", "Tenggelamnya Mayat Paling Tampan di Dunia". Atau, monolognya, berupa kalimat: "Isabel Memandangi Hujan di Macondos."
Bahkan ada Judul cerpen Stebby ada yang lebih panjang lagi, juga berupa kalimat: "Aku Masih Suka Mencintai Hujan, Meski ia Kini Datang Terlambat." Cara yang tidak biasa. *

No comments:

Post a Comment