Tuesday, May 8, 2012

AVONTUR, Ragil Supriyatno Samid


Judul : AVONTUR

Jenis: Kumpulan Puisi
Karya, Ragil Supriyatno Samid atau Ragil Sukriwul
Ukuran: 13,5 x 20 cm; 
Tebal: 100 hal. 
Isi: 53 judul puisi + 1 esai pembaca
Penerbit: Mozaik Books; ISBN: 978-602-9149-73-9
 
==============



SEPERCIK SINAR MEMBUNUH MALAM GELAP

Yonathan Rahardjo- Bedah Buku Puisi Avontur Majelis Biblio DBuku Bibliopolis-13, 27 Maret 2012, Galeri Surabaya, Balai Pemuda, Surabaya

Mengingat buku adalah kesatuan pesan maka judul Avontur yang merupakan judul salah satu puisi di dalam buku Ragil Supriyanto Samid ini merupakan pesannya. Petualangan, avontur, kalau dirupakan novel dengan mudah disatumaknakan dalam jalinan ceritanya seperti halnya novel Mark Twain yang terkenal “Petualangan Tom Sawyer”. Ihwal buku kumpulan puisi, pemaknaan ini perlu penelusuran dan pembacaan dengan membebaskan cara pembacaan. Dengan cara demikian pembaca dapat menangkap dan mengatakan gejala-gejalanya, sesuai kaidah pembahasan karya sastra termasuk metabahasa yang tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataannya.

Saya menempuh pembahasan dengan cara ini untuk membedakan inti pembahasan buku ini dari yang sudah dilakukan oleh Moh. Fathoni dengan ulasan berjudul “Kesaksian dan Pernyataan dalam Peristiwa” juga pendekatan Saut Situmorang yang lebih mendasar tentang perpuisian, yang telah disampaikan pada bedah buku di Yogyakarta, 18 Maret 2012. Bagi saya, “penjalinan cerita” di kumpulan puisi Avontur rupanya sangat terbantu dengan penyusunan puisi ala alur linear berdasar tahun penulisan puisi yang dimulai dari tahun 1999, tiap tahun selanjutnya selalu ada puisi dan diakhiri pada 2010. Ragil memulai avonturnya pada 1999.

Dengan 7 puisi pada 1999 nilai-nilai negatif tentang lingkungan muncul dari psikologi Ragil (ia seorang yang mengaku sempat kuliah di Fakultas Psikologi UMM) terhadap kondisi tanah airnya, lingkungan dan tempat tinggalnya (Bundaku Pertiwi, Berontak 1, Berontak 2), menghadapinya dengan kesabaran (Ina Anna Umbu Rambu), berupaya memahami (dalam puisi Di Kota Lama), dan berakhir dengan kepasrahan pada nasib dengan kunci kiamat (Diselamatkan Kiamat).

Kalau puisi-puisi tahun 2000 lebih merupakan ekspresi dan impresi terhadap carut marutnya lingkungan, puisi tahun 2001 lebih ke isi hati Ragil (Kalap, Aku Telah Pasti, Rumbia Tlah Hanyut), katakanlah dalam petualangan baru. Interaksi dengan orang lain memang ada dan lebih bersifat personal dengan orang-orang yang bersemayam di hati Ragil. (Sajak Kepada Kawan, Hujan dan Seorang Bocah yang Menangis).

Berbagai petualangan Ragil alami di tahun 2001, baik petualangan psikologi, bahasa maupun petualangan fisik. Pada puisi “Sayang” seperti umumnya penyair yang suka membolak-balik susunan kata-kata dalam kalimat Ragil pun melakukannya. Saya sebut ini petualangan bahasa yang akan memukul kejiwaan, mengingat sebuah cara yang dilakukan Gan Lo Pek seorang pendekar tua naif yang pandai melukis yang mempermainkan di depan khalayak jiwa Suma Boan pendekar yang merasa ahli sastra dalam serial novel “Bu Kek Sian Su” seri “Cinta Bernoda Darah” karya oleh Kho Ping Hoo yang tersohor itu. Tugas dari Gan Lo Pek, empat kata (“Tahi”, “Makan”, “Kuda”, dan “Harimau”) harus dirangkai menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Semua anak dan penyair rasanya pernah main-main (berpetualang) tentang hal ini, juga Ragil Supritano Samid.

Selanjutnya dapat diduga, petualangan dalam buku puisi Avontur bukanlah petualangan jalinan cerita yang sambung menyambung dari satu bab ke bab yang lain seperti novel thriller dengan teka-teki berkesinambungan. Rata-rata buku puisi memang disusun ala mozaik seperti bab-bab dalam “Petualangan Tom Sawyer”, atau “Little House In The Prairie” karya “Laura Ingalls Willder” dan banyak novel lain termasuk juga “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata dengan setiap serinya. Namun demikian semua novel itu ada akhirnya dengan sebuah penutup yang secara “Tuhan turun dari mesin” menyelesaikan buku dengan mendadak tanpa peduli perkembangan alur. Di buku Avontur Ragil adalah dengan perpisahan setelah satu avontur dalam buku ini yang bisa jadi untuk berangkat ke avontur selanjutnya (buku berikutnya). Namun boleh jadi Ragil tetap berupaya menyusun alur hingga perpisahan itu, sebab sebelum puisi terakhir ini ada puisi kematian paman, dan doa minta “koin kesejatian” sampai waktu menyusul mati dalam puisi “To'o Kas Be Doi Do” (Paman, berilah saya uang receh dulu).

Dimulai dari “Bundaku Pertiwi”, Ragil mengalami petualangan demi petualangan hingga akhirnya ia membuat “Layang Perpisahan”. Petualangan fisiknya baik berupa diksi, pencitraan, kata konkrit, majas, bunyi penghasil rima dan ritme. Petualangan batinnya baik berupa perasaan, tema, nada (sikap penyair kepada pembaca dalam puisi) dan amanat, baik berasal dari pengalaman maupun pemikiran Ragil merupakan petualangannya di sini, bahkan juga petualangan menjiplak judul puisi Raja Puisi Liris Indonesia Sapardi Djoko Damono “Aku Ingin” bahkan juga isinya dengan mengubah beberapa kata dengan tujuan sinisme (seperti dilakukan oleh banyak penyair).

AKU INGIN
Sapardi Djoko Damono (1989):

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

AKU INGIN
Ragil Supriyatno Samad (2001):

aku ingin membunuhmu diam-diam
dengan senyum yang tak pernah disampaikan
bibir kepada rahang yang menjadikannya batu

aku ingin membunuhmu diam diam
lewat tangis yang tak sempat dikatakan
palu pada besi yang menjadikannya pisau

Di sinilah, karena puisi Sapardi ini begitu terkenal, sebetulnya kunci petualangan Ragil untuk mendampingi puisi jagonya “Avontur” yang sebetulnya dua akhir baris puisi ini memberi teka-teki kunci: “... lalu, jejak siapa yang tinggal di kamarmu?” Dengan benang merah itu saya ingin menjawab pertanyaan kunci ini dengan mengatakan, “Jejak Sapardi Djoko Damono,” dengan pembedaan adalah pada cita rasa keindahan dan cita rasa sifat-sifat keburukan negatif yang dalam seni antara yang indah dan jelek adalah sama-sama seni (indah), seperti halnya kisah lukisan kotoran manusia karya maestero pelukis Indonesia Affandi yang melekat di benak saya sedari remaja.

Tapi “sayangnya”, puisi-puisi SDD selalu bersifat liris yang kompak, menyatu, kata-kata tidak sekedar alat hubung pembaca dengan ide penyair, tapi sekaligus pendukung imaji, dan pendukung pembaca dengan ide penyair, dan terutama sebagai obyek pendukung imaji. Sedangkan kata-kata dalam puisi-puisi Ragil tidak memenuhi kriteria ini, meski juga menuliskan banyak hal yang bisa diperoleh dalam menghadapi peristiwa sederhana, yang terjadi dan pasti dalam keseharian hidup. Bagi saya, untuk berkebalikan sifat dengan lirisnya SDD menuju puisi liris negatif (curahan perasaan dan pikiran-pikiran negatif), pilihan-pilihan kata Ragil sering tidak mendukung untuk terciptanya imaji.

Hambatan ini tampaknya muncul karena Ragil suka menggunakan frase-frase aneh seperti peta gairah putik dan benang sari (Memang). Rasanya Ragil mencoba beranalog dan memberi metafora-metafora, namun sering tidak menyatu secara asyik dengan kata dan kalimat terkait bahkan juga bunyinya. Hambatan imaji juga terasa dalam penggunaan kata serapan dari bahasa daerah seperti “ngider” (Aku Seperti Ketakutan Seperti Ketakutanmu”, lebih-lebih pada penggunaan kata-kata serapan yang tidak mudah dimajinasikan, seperti kata “atmosfermu” (Bundaku Pertiwi), “obsesi” (Di Antara yang Datang dan Pergi), “dehidrasi akut” (Lost), cara yang tidak disukai Sutardji Calzoum Bachri yang bahkan saya sebut Raja puisi Dadaisme Indonesia karena membebaskan makna kata bahkan seperti bayi yang belajar mengucap, sebelum akhirnya di masa tuanya ini ia menulis puisi dengan kata terikat makna dalam baris-baris puisi.

Dalam makna liris negatif tadi, memang, puisi-puisi Ragil dominan dengan segala sesuatu terkait dengan kekelaman, kegalauan, pikiran jelek-jelek, menggigil, kebingungan, anyir darah, cerca, maki, hujat, layu, jatuh, resah, kegelapan, menendang, memukul, hampa, raung, kalap, sinis, masam, batu, debu, sesat, cacian, kesombongan, hitam, kabut pekat, kalap, semu, kosong, kering, kelam, gemetar, lara, galau, dan sejenisnya dalam berbagai puisi. Bahkan tentang hujan, bulan, doa, ibu, cinta, tema-tema yang paling banyak ditulis penyair pun ia menuliskan dari sisi gelap.

Namun ternyata Ragil juga manusia, bukan malaikat kegelapan, puisi-puisi Ragil yang dominan dengan nuansa kegelapan yang seperti danau mati di waktu malam, hampir selalu ada satu percik cerah seperti cahaya kecil. Meski, hanya dua baris dalam baris-baris panjang kegelapan puisi “Pesan Terakhir Pelacur buat Si Hidung Belang” yang dicahayai pesan terakhir: “...hadapkan wajah ke hulu sungai, jangan pejam/ matamu, beri bibir sedikit senyum,.../. Atau, satu baris dari lima baris misalnya dalam “Sesingkat puisi” (2007). Bagi saya “kecup dan kerlap” ini, yang dimaksud.

SESINGKAT PUISI

di lipat pertemuan yang gagal
bertukar tangkap, berganti lepas
yang tinggal cuma lengking
kecup dan kerlap
yang kejap: sesingkat puisi

Singkat pembahasan Buku Avontur sesingkat puisi dan petualangan manusia, kembali ke metode pembacaan nikmat saya ala novel di mana seperti istilah dari dunia teater “Tuhan turun dari mesin” di mana para penulis Yunani khususnya Euripedes menjelang terjadinya malapetaka memecahkan persoalan yang rupanya tak dapat ditembus dengan derek menurunkan seorang dewa di atas panggung, jelas, banyak petualangan dialami Ragil Sukriwul di sini. Puisi-puisinya juga mengambil peristiwa dan keadaan sekitar sebagai metafor untuk hati (budi) seperti konvensi dunia puisi untuk memperhalus budi pekerti. Contoh metafora atau majas yang mengungkapkan ungkapan secara langsung berupa perbandingan analogis ada pada puisi “Sajak Kepada Kawan”: .../bukan batu karang itu/yang harus ditakuti/tapi karang di hati, tandusnya batin/...

Puisi-puisinya juga dapat dicari intinya dalam bait tertentu sementara bait lain merupakan sampiran (seperti dua bait terakhir di puisi “Semedi Rakit Bambu”.

Memang, Ragil memang ingin “membunuh” pembaca dengan satu percik sinar di malam gelap gulita. Bahkan dengan sinar itu ia ingin membunuh malam gelap itu sendiri. Percikan pilihan hati memang sudah terasa, tapi percikan upaya bahasa selain sikap kegelapan ia masih akan berpetualang. Mungkin tak perlu dengan tipografi seperti pengetikan mondar/mandir//sana/sini/bolak/balik/... pada puisi “Antara yang Datang dan Pergi” , tampilan visual di jaman mesin ketik manual yang sudah banyak penyair bereksperimen. Mungkin perlu meniru kenakalan Tom Sawyer dalam petualangannya, dengan melanjutkan kenakalan-kenakalan Ragil sendiri di antaranya dalam “Surat Buat Umat” dengan memberi salam kepada “habib” memakai ucapan “shaloom”.
Bagi saya, upaya ini penting karena saya dapat merasakan upaya Ragil untuk “membunuh malam gelap pekat dengan sepercik sinar itu” setidaknya menginspirasi saya dan mungkin kita semua dengan banyaknya kemiripan di dunia kita dengan upaya-upaya sesama seperti upaya penyair Spanyol yang mendunia Federico García Lorca  dengan puisinya ini.
LAGU MUSIM GUGUR
(Federico García Lorca )

Hari ini di dalam hatiku
Samar-samar bintang menggigil,
Tetapi jalanku menghilang
Dalam jiwa yang berkabut.
Cahaya memotong sayap-sayap.
Luka dari kesedihanku.
Menguyupi ingatan
Dalam pikiran yang memancur.

Seluruh mawar putih,
Putih seperti kesedihanku,
Putih hanya ketika
Butiran salju jatuh di atasnya.
Mulanya mereka berpakaian pelangi.
Butiran salju juga turun di dalam jiwaku
Jiwa-jiwa salju yang dicium
Serpihan salju dan pemandangan
Menghilang sebelum dalam bayang
Atau cahaya dari pikiran seseorang.
Salju turun dari mawar,
Tetapi tersisa dalam jiwa.
Dan tahun yang mendesak
Membuat sebuah selimut untuk mereka.

Akankah salju mencair
Ketika kematian menjemput kita?
Ataukan di sana menjadi lebih banyak salju
Dan lebih banyak mawar sempurna?

Akankah kita mengetahui kedamaian
Seperti janji Kristus?

No comments:

Post a Comment