Monday, November 1, 2010

TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965-2005, Sastra Pembebasan


Judul Buku: Tragedi Kemanusiaan 1965-2005
Penulis: 37 orang
Editor: Heri Latief-Ratih Miryanti-Daniel Mahendra
Jenis: Kumpulan Cerpen dan Puisi
Penerbit: Malka-Sastra Pembebasan
Tahun: 2005
____________________________

BEDAHLAH, KENANGANMU TAKKAN PERNAH HILANG

Oleh: Yonathan Rahardjo, Materi Bedah Buku di Galeri Cipta 3 Taman Ismail Marzuki Jakarta, 2005
Apa yang mau dikatakan untuk membedah buku setebal 350 halaman, berisi 12 cerpen, 16 curhat, 7 esai, 11 puisi, diapit semacam prolog dan satu epilog, ditulis oleh 37 penulis yang terserak, tersebar tempat di belahan-belahan bumi yang berbeda, dengan kehidupan berbeda, dengan pengalaman berbeda, dengan latar belakang berbeda, dengan umur-umur generasi yang tidak sama yang lahir terbelah dua bagian, sebelum 1965 dan sebagian sesudah tahun 1965, saat tragedi di tahun 1965 ini menyatukan perasaan, nasib, hati, kepedulian, kemanusiaan dan kegelisahan para manusia-manusia yang telah menulis karya-karya ini?

Bisakah dan untuk apa pisau bedah paling tajam mengiris, memotong, menguak, menguliti, memilah mengidentifikasi setiap kata, frasa, kalimat, paragraf dan bangunan utuh tulisan yang merupakan pembuluh darah, darah, anatomi, organ, sistem organ, nafas, rasa dan jiwa serta roh hidup manusia-manusia yang wujud, sosok, dan kehadirannya adalah cermin dari tubuh, pribadi, dan kemanusiaan kita sendiri?

Sungguh, para penulis ini punya suatu pesan yang hendak disampaikan, suatu denyut nadi yang telah diputus, detak jantung yang tak didengar, suara yang dibisukan, nurani yang dibutakan, memori yang disesatkan, cinta yang tlah dicampak dan dipisah, kasih yang tlah dibakar, sayang yang dihancurkan, dalam satu periode sangat gelap yang untuk meraba dan menjalar saja tangan dan kaki mereka harus berbenturan dengan senapan besi keras, leher putus dan tubuh mati, nyawa tidak kembali:

“Arloji itu bagi bunda seperti batu nisan,” tulis Ragil Nugroho tentang ingatan ibu tokoh Cerpen Arloji terhadap ayahnya yang pada tahun 1965 digaruk Koramil dan tak kembali sampai 40 tahun sampai entah kapan.

“Jangan berkata-kata lagi Klara. Menangis sajalah, karena air mata kita kali ini akan menghanyutkan segala duka nestapa yang pernah kita alami,” pasrah tokoh Ex Tapol tulisan T Iskandar AS dalam Cinta yang Memandang ke Depan yang untuk menjadi tukang sapu dan tukang sampah saja susah, karena diperlukan surat keterangan bebas G30S”, apalagi menjadi istri ‘gadis baik-baik saja’.

‘Dari mulut ke mulut,.... entah pada turunan ke berapa, kisah tentang tapol eyang Kusumo ini akan berakhir untuk mereka riwayatkan,’ tulis Sihar Ramses Simatupang dalam Cerpen Dunia di dalam Jeruji Penjara.

‘Di layar televisi tampak berjejer para veteran dengan topi kuningnya dan lencana-lencana jasa menghias dadanya. Wayah Dalang masih terus mengusap air matanya yang meleleh. “Duh kenapa aku harus menyaksikan ini? Kenapa aku tidak segera mati?”’ tulis Putu Oka Sukanta tentang tokoh Cerpen Ia Menangis di depan Televisi.

‘Sampai pada tahun 80 an, ketika berkesempatan berkunjung kembali ke desa bawah bukit itu lagi, aku mendengar cerita ini langsung dari mulut Lek Kuntet sendiri,’ tulis Petra Dipantara dalam Cerpen Lek Kuntet yang tahun 1965 masih belum genap berumur 12, tahun 1967 dituduh anggota Lekra, ditahan, wajib lapor sampai tahun 1970-an.

Yang membuat ingatan tak bisa lepas dari peristiwa yang dialami para tokoh cerita dalam

Antologi jelas, kejadian itu adalah suatu fakta, nyata, bukan sekedar fakta di pikiran, tapi fakta yang menggores kulit berdarah, jantung ambrol, menyedot mata pencaharian, menderitakan hidup, mencabut hak-hak hidup. Meski, ruang dan waktu dipagar tembok sangat tinggi agar yang menguasai segala kesadaran adalah yang dimaui penguasa, pemerintah, militer:

‘Murni merah, jiwa, kebenaran. Bukan merah darah yang menggenangi mata sehingga terkaburkan semua pandangan mata dan akal sehatnya. Meski dalam genangan merah darah ini terbukti ayah bundanya tetap bisa bertahan dikepung Golkar kuning dan Golkar merah,’ tulis Yonathan Rahardjo tentang tokoh anak korban tragedi 1965 dalam Cerpen Merah Lurus Merah Liku.

‘Apakah dunia sudah akan berakhir? Kekejaman terjadi di mana-mana. Anak-anak kehilangan orang tua, orangtua kehilangan anak-anak, isteri kehilangan suami, suami kehilangan istri, adik kehilangan kakak, dan kakak kehilangan adik. Pembantaian kian marak…. Situasi makin mencekam. Mbah Putri selalu menasihati “Teguh cekelan waton”,’ tulis Utji Kowati Fauzia dalam Cerpen Natal Kelabu.

Melalui proses perkembangan perkawananku dengan aktivis politik yang diberi status oleh pemerintah setempat sebagai ‘Pelarian Politik’ itu, kemudian kusadari bahwasanya hasil pendidikan di bawah sistem pemerintahan rejim Soeharto ternyata semuanya bermakna kebohongan dan pembodohan bagi bangsanya,’ tulis MiRa dalam Cerpen Patty tiba…

‘Cipinang! Ya, gerbang pintu penjara Cipinang! Saat-saat di mana aku dan ibu harus menunggu giliran untuk menengok ayah. Seorang gadis muda selalu berdiri di seberang kami. Dengan pandangan dan senyumnya yang lembut itu. Seolah-olah ingin mengatakan padaku, jangan takut adikku, semua akan berlalu dan hari akan lebih baik… Ah, kenangan yang takkan hilang, betapapun besar usaha buat menghapusnya,’ tulis Satyaning dalam Cerpen Perjalanan.

Namun astaga! Kenangan-kenangan yang disimpan sesama manusia yang sama-sama manusia ternyata bisa dipandang dengan tatap mata berbeda oleh manusia-manusia lain yang sama-sama manusia. Terhadap kenangan fakta pembantaian, lihatlah cara manusia lain ini melihatnya:

‘Sungai di belakang rumah kami yang membujur sepanjang desa, telah dilindungi negara, dan telah resmi menjadi Musium Bersejarah, juga dijadikan obyek wisata, di mana tempat wisata ini merupakan tempat terjadinya tragedi berdarah dari Gerakan 30 September tahun 1965 dengan ditandai monumen berupa gerbong Kereta Api “Kertopati”. Dan gerbong tersebut dijadikan sebagai simbol, yang digunakan untuk mengangkut para korban keganasan PKI,’ tulis Aguk Irawan MN dalam Cerpen Sungai yang Memerah.

‘… bulan depan Bu Er akan pergi ke tanah suci. Lengkaplah sudah apa yang didamba Bu Er, tak dipedulikannyalagi bisikan “Gerwani itu sudah Taubatan Nasuha”,’ tulis Septi Wulandari dalam Cerpen Tuhan Punya Rencana.

Siapakah kamu manusia? Sehingga menjadi hakim atas sesamamu manusia? Tidakkah ada sehelai kesadaran pada dirimu bilamana mata yang tidak kelihatan yang mengawasi dan tahu seluruh seluk-beluk dan tingkah-laku-polahmu menuliskan tentang dirimu sendiri masuk dalam cerita-cerita sedih itu? Dan kamu ditempatkan di situ karena di situ sejatinya kamu pun ada, bahkan ikut merubah warna sejarah karena ada sesuatu yang hati nuranimu sendiri tahu itu salah. Wahai, pihak-pihak yang telah merubah arah sejarah, kembalilah ke masa lalumu, kau temukan di situ ada kamu, akankah bila itu diubah kamu tetap merasa benar? Bahagiakah kamu dengan akibat tangan-tangan berdarahmu?

‘…”Lu, mau ngarang cerita masa muda lu. Mbongkar rahasia pribadi, ya?”… “Lu juga masuk di dalamnya!”……’ tulis A Kohar Ibrahim dalam Cerpen Yang Mencintai Cinta.

Bedahlah! Kenanganmu tidak akan pernah hilang. Bedahlah dan bukankah semua kenangan itu, sodorkan pada manusia-manusia yang lain, yang telah menutup mata menutup hati terhadap peristiwa itu, mengunci diri dalam ketakutan berdindingkan kenyamanan pembangunan. Katakan, katakan pada sesamamu manusia, bukakan mata sesamamu manusia, bukakan mata hati mereka: buka. Kenangan mereka pun tak akan hilang, biar jadi teman kenangananmu.

Tidak kau rasakankah pandangan dari bola mata bening Ilham Aidit anak Aidit yang
dipandang lain oleh rezim Orde Baru tentang Aidit, yang kala itu masih kecil dalam Curhat Bening Kaca di Bola Mata?

Tidak tahukah kau sesungguhnya kehidupan Arira, anak yang ibu dan ayahnya yang pejuang kemerdekaan 45 dituduh sebagai pengkhianat bangsa dan dipenjara seumur hidup dan martabat keluarga sampai saat ini masih dinista dan dicerca oleh warisan sistim kekuasaan pemerintahan rezim militeristik Soeharto, dalam Curhat Cerita untuk Cucu-cucuku?

Tidak tersentuhkah kau terhadap Derita Tuti Martoyo yang ayahnya diciduk, disiksa dan mesti berjuang hidup dengan kesetiakawanannya dalam Curhat Deritaku-Kesetiawananku?

Tidak sama pendapatmu dengan Tari dalam Curhat Forty Years On yang menyuarakan kepergian mencari kesempatan yang lebih baik akibat tragedi 1965 tak akan pernah membuatnya melupakan dan mencintai Indonesia?

Tidak tahukah kau horor tak hanya mencekam Jenderal-Jenderal tapi juga ayah-bunda keluarga Omie Lubis dalam Curhat Horor Menjelang Subuh, Tragedi 65?

Tidak harukah kau terhadap pengakuan bangga sebagai bangsa Indonesia dua anak Mawie Ananta Jonie korban tragedi kemanusiaan dalam Curhat Kami Bangsa Indonesia?
Tidak terguncangkan kau terhadap Curhat Chiko Kisah Bogi, Beny dan Wawan yang tidak mau berbagi rasa, terbelakang mentalnya, apatis, karena trauma tak kuasa bersuara, menyuarakan kekejaman sebuah rezim yang zalim?

Tidakkah kau malu bahwa perubahan setapak demi setapak terhadap nasib para korban tragedi kemanusiaan dikatakan semua ini berkat perjuangan dan usaha Amnesty International dan badan-badan internasional lainnya yang tak henti-hentinya berusaha untuk membebaskan para Tapol demi penegakan HAM dalam curhat Hartinah Sareko Kisah Nyata Tragedi 30 September?

Tidak punya air matakah kau tahu seorang Iramani.id yang masih anak menyaksikan sendiri derita lelaki, perempuan dan keluarganya dalam penyiksaan tentara dalam Curhat Kodim,1966? Tidak bisa menangiskah kau melihat Svetlana seorang anak kehilangan ibunya yang ditahan paksa pindah-pindah Semarang, Jakarta dan Platungan, dalam Curhat Mama Tak Pernah Menangis?

Tidak terketuk nuranimukah pada kisah Mario yang kehilangan adik tanpa kubur pada Curhat Mengenang Adiku yang Sudah Tiada? Tidak merasa kehilangankah kau dengan berpulangnya pendidik yang tersingkir ke luar negeri namun tetap berdarah-darah memperjuangkan hak azasi manusia Indonesia korban pesta penggulingan pemerintahan Orba dalam Curhat Tom Iljas Mengenang DR Sophian Walujo?

Tidak miriskah hatimu kehilangan ayah yang dibantai bersama kawan-kawannya dengan kubur misterius seperti Pringgo Widagdo dalam Curhat Namaku Pringgo Seperti Ayahku?

Tidak gelisahkah kamu tahu para korban di luar negeri seperti orang tua Fajar Sitepu tak bisa kembali ke tanah air sendiri karena tragedi berdarah itu dalam Curhat Korban Teror Suharto?

Tidak tergerakkah kemauanmu untuk mendukung perjuangan kaum terkorbankan itu seperti kesadaran berkesenian Madia Patra dalam Curhat Salam Gelisah dari Balik Kemuraman?

Tidak gelisahkah kamu mengetahui perempuan Indraningrum selalu gelisah mencari kebenaran dan tidak pernah bertemu dengan ayahnya yang hilang sejak tragedi itu dalam Curhat Sebuah Wajah?

Kau boleh bersilat kata untuk membela kebenaranmu, namun kenangan-kenangan itu adalah kenangan abadi yang akan tetap menuntunmu pada kejernihan hati dan pikiranmu. Pada banyak bidang. Pada banyak hal. Pada banyak perkara. Pada banyak cita-citamu untuk menjadi manusia yang bermartabat, yang kau gaung-gaungkan dengan segenap kemuliaanmu, meski itu berbalutkan campuran darah, derita, air mata dan kematian.

Kau akan temukan jawaban atas kekacauanmu. Karena kekacauan pada dirimu adalah kekacauan fakta. Buka kenanganmu, luruskan faktamu, tidakkah kau akan punya pandangan lain tentang faktamu dengan Esai Nadir Attar Membengarus Buku sastra, Atas Nama Keamanan dan Ketertiban Umum?

Kau akan temukan jawaban kekacauanmu. Bukankah kekacauanmu adalah kekacauan fakta? Siapakah fakta di balik tragedi yang merenggut rampas nyawa-nyawa manusia-manusia saudara-saudaramu sendiri itu? Buka kenanganmu, cari faktamu dengan Esai Eep Saefulloh

Fatah Mencari Dalang Gerakan 30 September 1965 (Urgensi Rekonstruksi Sejarah Kita).
Kau akan temukan jawaban kekacauanmu. Bukankah kekacauanmu adalah kekacauan fakta? Kau adalah gadis dengan tahi lalat manis, kenapa harus kau cungkil ia dalam Esai Ferren Bianca Mencurigai Tahi Lalat: Apa? Kenapa?

Kau akan temukan jawaban kekacauanmu. Bukankah kekacauanmu adalah kekacauan fakta?

Bedah kenanganmu. Kenanganmu tak akan hilang, bahkan kau akan temukan faktanya dengan Esai Fransisca Fanggidaej Penilaian Terhadap Masakini atas Dasar Pengalamanku Masalampau.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu, kau akan katakan bahwa hal ini benar tentang negeri yang menembok kenanganmu ini, seperti yang Heri Latief puisikan Kolam Susu Racun Madu, Kepercayaan terhadap Ilmu Sesat Ide Pembodohan, dan bahwa Kemerdekaan itu Bukan Kado.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai Buru (di Pulau) puisinya Yonathan Rahardjo. Nyata benar kenangan dalam puisi-puisi Bayu Abdinegoro (Narcxist) Catatan Harian dan Mbaca Lagi Buku Catatan Sejarah.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai Buru 1971 (1) 1971 (2) Amarzan Ismail Hamid.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai puisi Prahara 1965 Zeta Rosa. Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai puisi Fadjar Sitepu Satir Budaya.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai puisi Daniel Mahendra Surat untuk Maemunah.

Bedah Kenanganmu, rangkai puisimu, katakan dengan kejujuranmu dan nuranimu menjumpai suatu keyakinan Pramoedya Ananta Toer Setelah 40 Tahun, Tuntutan itu Harus Tetap Dilakukan.

Bedah kenanganmu! Kau akan temui, kenanganmu tidak akan pernah hilang. Bertemulah dengan para korban dalam kenangan, hai para penikmat tragedi kemanusiaan 1965. Maka kau akan memandang secara seimbang dan benar terhadap tragedi kemanusiaan yang telah menyesatkan kebangsaan dan kemanusiaanmu. *

No comments:

Post a Comment